SuaraRiau.id - Hutan, rempah dan adat budaya jadi elemen yang tak terpisahkan bagi masyarakat suku Sakai di Riau. Sakai sudah sejak lama tinggal menetap di bumi lancang kuning, keberadaannya dengan alam raya telah menyatu. Tapi itu dulu.
DALAM buku Auf Neuen Wegen Durch Sumatra, yang ditulis Max Mozkowski (1909), tercatat skenario kehidupan masyarakat suku Sakai yang tak terlepas dari keberadaan hutan.
Lebih seratus tahun lalu dia mencatat, alam telah membentangkan harapan bagi komunitas masyarakat adat tersebut. Sakai merupakan orang asli atau indegeneous people yang menjunjung tinggi nilai-nilai adat dan budaya. Mereka tinggal di kawasan pedalaman hutan Riau, Pulau Sumatera.
Sejak dahulu, hutan dan sungai memberikan penghidupan bagi masyarakat Proto-Melayu. Masyarakat suku Sakai, masih memanfaatkan hutan sebagai sumber harapan. Namun kini, tergerus oleh zaman dan kemajuan, hutan yang dulunya luasnya tak terkira tempat mereka tinggal, kini terkikis hampir habis.
Polemik ini membuat Cendekiawan Sakai, Mohamad Agar Kalipke jadi risau. Hutan yang mestinya jadi payung teduh bagi masyarakat adat tersebut, sekarang sudah hampir sirna dijamah manusia.
"Ini sebuah keruntuhan. Soal hutan adalah kasus dan dilema. Hilangnya hutan itu menurut saya adalah keruntuhan Sakai, (berdampak) untuk budaya, tradisi, penghidupan Sakai, juga termasuk pengobatan," kata Agar Kalipke, kepada Suara.com, Selasa (7/9/2021) Muara Basung, Kabupaten Bengkalis.
Selama itu, hutan memberikan kontribusi yang tak terhingga bagi kelompok masyarakat adat tersebut. Dulu, alam menyediakan segalanya bagi manusia, termasuk bagi masyarakat suku Sakai. Mereka yang ingin makan nikmat, gampang. Pergi ke hutan, mencari rusa, kijang, kancil dan juga burung-burung. Semua mudah dicari.
Begitupun di sungai, ikan-ikan dulu mudah ditemukan, seperti ikan Baung, Toman, Tapah, Gabus ataupun Limbat, namun sekarang sulit. Apalagi soal rempah. Hutan yang dulunya kaya akan rempah dan tumbuhan herbal, kini sudah sukar ditemukan. Padahal kawasan hutan tersebut merupakan salah satu sumber rempah dan panganan tradisional masyarakat Sakai.
Hutan yang berada di tanah ulayat nenek moyang Sakai kini hanya berkisar 240 hektare, lokasinya berada di perbathinan Sakai Bathin Sobanga, Kecamatan Bathin Solapan, Kabupaten Bengkalis.
Jumlah bentangan alam ini jauh menurun dari sebelumnya 17.000 hektare. Salah satu faktor penyebabnya ialah terkikis oleh keberadaan korporasi.
Masyarakat adat Sakai tersebut, awal 2021 lalu kembali berusaha untuk mendapatkan pengakuan hutan adat, mereka menyampaikan hajat itu ke Lembaga Adat Melayu atau LAM Riau, kemudian Pemprov Riau agar diteruskan ke Pemerintah Pusat.
Tujuannya supaya hutan yang tinggal sedikit itu tetap bisa dipertahankan dengan skema adat hingga bisa diwariskan ke generasi Sakai mendatang. Atau ringkasnya; adanya pengakuan hutan adat oleh negara.
Bagi Agar Kalipke, yang merupakan lulusan magister sastra dan bahasa Universitas Hamburg, Jerman ini, kelestarian hutan dan seisinya mesti terus dijaga. Termasuk juga tradisi dan budaya komunitas masyarakat ini.
Sebagai upaya dasar, Agar juga menanam pohon-pohon tua yang bibitnya sengaja diambil dari hutan adat untuk ditanami di pekarangan rumahnya. Ini sebagai upaya pelestarian alam yang semakin terkikis habis.
"Jadi, hutan itu adalah supermarket dan apotek kita. Itu jelas dan tak perlu diterangkan lagi ya, karena dari hutan itu kita ada rempah-rempah, sayuran, umbian, rotan, palem, kluno atau ubi. Dulu kita itu tak kenal namanya beras, makanan pokoknya itu ubi," ungkapnya.
Berita Terkait
-
Menteri Raja Antoni: Indonesia Percepat Pengakuan Hutan Adat hingga 1,4 Juta Hektar
-
Kampung Kuta, Salah Satu Penjaga Hutan Adat Terakhir di Jawa Barat
-
Terinspirasi Kampung Adat Kuta, Raja Juli Bentuk Tim Super untuk Kepastian Hukum Hutan Adat
-
Hati-hati Beli Perhiasan, Petani hingga Buruh Sawit Tertipu Emas Palsu
-
Demi Masa Depan Anak Cucu, Warga Knasaimos Desak Pengakuan Hutan Adat
Terpopuler
- Erick Thohir Umumkan Calon Pelatih Baru Timnas Indonesia
- 4 Daftar Mobil Kecil Toyota Bekas Dikenal Ekonomis dan Bandel buat Harian
- Bobibos Bikin Geger, Kapan Dijual dan Berapa Harga per Liter? Ini Jawabannya
- 6 Rekomendasi Cushion Lokal yang Awet untuk Pekerja Kantoran, Makeup Anti Luntur!
- 5 Lipstik Transferproof untuk Kondangan, Tidak Luntur Dipakai Makan dan Minum
Pilihan
-
Pakai Bahasa Pesantren! BP BUMN Sindir Perusahaan Pelat Merah Rugi Terus: La Yamutu Wala Yahya
-
Curacao dan 10 Negara Terkecil yang Lolos ke Piala Dunia, Indonesia Jauh Tertinggal
-
Danantara Soroti Timpangnya Setoran Dividen BUMN, Banyak yang Sakit dan Rugi
-
Mengapa Pertamina Beres-beres Anak Usaha? Tak Urus Lagi Bisnis Rumah Sakit Hingga Hotel
-
Pandu Sjahrir Blak-blakan: Danantara Tak Bisa Jauh dari Politik!
Terkini
-
4 City Car Bekas di Bawah 50 Juta untuk Pemula, Keunggulan dan Kekurangannya
-
5 Mobil Bekas 7 Seater 100 Jutaan, Pilihan Logis untuk Pensiunan dan Lansia
-
5 Daftar Mobil Bekas Diesel 4x4 Populer di Indonesia, Bandel untuk Segala Medan
-
3 Mobil Bekas Daihatsu untuk Komunitas Anak Muda: Kabin Luas, Irit dan Fungsional
-
5 Mobil Bekas Murah Andalan Toyota, Pilihan Ekonomis Keluarga Indonesia