"Indonesia timur itu dokternya masih kurang, bahkan ada faskes tak ada dokter sama sekali. Banyak yang saya lihat, bahkan ada beberapa lokasi yang ketika warga melahirkan saja sulit. Apalagi kalau sampai komplikasi persalinan, itu harus dirujuk. Nah di rujuk itu tak ada akses, ke rumah sakit mereka sampai harus sewa kapal, sampe 7 jam perjalan dan itu pun tidak setiap hari (jadwal kapal)," ujarnya lirih.
Kemudian, sulitnya akses kesehatan itu juga dibarengi dengan banyaknya ekonomi warga di daerah terpencil yang masih kurang mampu. Hal ini menjadi masalah serius yang dihadapi masyarakat di sana.
"Jadi kalau sempat dirujuk itu menjadi suatu pemikiran sendiri bagi keluarga. Karena mikir sewa kapal, belum lagi kebutuhan-kebutuhan makan dan lain-lain," tuturnya.
Dalam ingatan Stephanie, musibah gempa, tsunami dan likuefaksi di Palu, Sulawesi Tengah juga merupakan salah satu kejadian yang paling menyayat hati. Karena selama 4 bulan dia melihat langsung bagaimana traumanya masyarakat akibat bencana alam tersebut.
"Gempa tsunami palu jadi momen sendiri bagi saya, karena saya melihat sendiri sejak hari kelima pasca kejadian sampai 4 bulan di Palu, sedih melihat traumanya masyarakat, melihat bagusnya bangunan lalu rusak karena tsunami. Ada korban likuefaksi juga, rumah bener-bener terseret oleh kejadian tersebut, jadi tak ada lagi harta benda mereka. Saya dengar dan lihat langsung dari mereka," ungkapnya.
Melihat penderitaan warga yang krisis kesehatan juga dirasakan Stephanie di berbagai daerah lainnya di Indonesia. Namun hal yang paling berkesan, kata dia, yaitu saat berada di bagian timur Indonesia.
Dukungan keluarga modal utama
Selama menjalani pengabdiannya tersebut, dokter muda keturunan Tionghoa ini mendapat dukungan penuh dari keluarga. Menurutnya, dukungan dari keluarga yang berada di Pekanbaru ini menjadi modal utama dalam perjalanan hidupnya tersebut.
Stephanie merupakan warga asli Pekanbaru. Jenjang pendidikan sejak taman kanak-kanak hingga menamatkan SMA juga di Pekanbaru. Stephanie tercatat merupakan alumni SMA Negeri 9 Pekanbaru, setamat itu barulah ia pergi merantau dan menjalani studi kedokteran di Jakarta hingga saat ini.
"Keluarga saya sangat mendukung sekali, mereka tahu apa yang saya kerjakan, saya juga melaporkan aktivitas di sini," ujarnya.
Meski tidak ada jejak keturunan dari orang tua yang menjadi dokter maupun relawan, namun keteguhan hati Stephanie untuk mengabdikan dirinya sebagai relawan sudah terpatri sejak dini. Itu terbukti dari kegigihannya selama sepuluh tahun memilih jalan pengabdian untuk melayani.
Berita Terkait
-
Secawan Kopi, Menikmati Kopi dan Hidangan Khas Bengkalis di Pekanbaru
-
Heboh Napi Dugem dan Pesta Narkoba di Rutan Pekanbaru, Komisi XIII DPR: Usut Tuntas!
-
9 Kuliner Khas Lezat Pekanbaru yang Bikin Wisatawan Jatuh Hati
-
Menikmati Lupis di Warung Lintau Pekanbaru, Cita Rasa Tak Terlupakan
-
Menikmati Hidangan Istimewa dan Kuah Gurih di Sup Tunjang Pertama Pekanbaru
Terpopuler
- Selamat Tinggal Denny Landzaat, Bisa Cabut dari Patrick Kluivert
- Selamat Datang Pascal Struijk di Timnas Indonesia, Ini Bisa Bikin China Ketar-ketir
- 5 Motor Bekas Murah Harga Rp2 Jutaan: Semurah Sepeda Listrik, Mesin Bandel
- CEK FAKTA: Link Rekrutmen Koperasi Desa Merah Putih, Gaji Capai Rp8 Juta
- 7 Rekomendasi Sunscreen Korea Terbaik Dunia, Tersedia di Indonesia
Pilihan
-
Dilepeh Ajax, Simon Tahamata Kirim Sinyal Mau Jadi Dirtek Timnas Indonesia?
-
Tunda Pesta Juara Persib! Malut United Bongkar Cara Jinakkan Maung Bandung
-
Bali Blackout, Update Terkini Listrik di Pulau Dewata Padam
-
Sekolah Perintis Peradaban Magelang: Mengajar Anak Menjadi Tuan atas Diri Sendiri
-
Prabowo Bakal Kenakan Tarif Pajak Tinggi Buat Orang Kaya RI
Terkini
-
Peluang Ekspor Besar, Tangkal Kawung: Gula Aren Makin Digemari
-
Riau Menuju Smartprovince, Gaungkan Literasi Digital Kedepankan Nilai Melayu
-
Dari Atap Bocor ke Semangat Baru: BRI Peduli Ini Sekolahku Hadirkan Harapan
-
DANA Kaget buat Jajan Cilok, Khusus Momen Hari Pendidikan Nasional
-
Telah Diundi Akhir April, Selamat pada Para Pemenang BRImo FSTVL 2024!