Scroll untuk membaca artikel
Eko Faizin
Jum'at, 12 Februari 2021 | 13:56 WIB
Dokter Stephanie saat menyusuri laut menggunakan perahu.[Ist]

Dari aktivitasnya sebagai dokter di RS Apung, dia pun banyak berinteraksi dengan masyarakat dari berbagai daerah, beragam suku, melihat budaya, mencicipi makanan khas, kemudian bisa menolong dan membantu warga yang sedang dirundung pilu.

"Bisa membantu orang lain itu jadi kebahagiaan tersendiri bagi kita," kata Stephanie.

Selama perjalanan pengabdiannya menyusuri negeri, bahkan dia juga sempat diamanahkan sebagai koordinator di RSA Nusa Waluya II sebelum dirinya memilih berhenti dari status karyawan tetap untuk melanjutkan pendidikannya.

RSA Nusa Waluya II adalah rumah sakit apung ketiga milik doctorSHARE. RSA pertama bernama RSA dr Lie Dharmawan, RSA kedua bernama Nusa Waluya I.

Nusa Waluya II adalah RSA pertama yang berada diatas kapal tongkang. Kapal itu dimodifikasi dengan diletakan beberapa kontainer sebagai ruangan rawat pasien. Sementara di lambung kapal tersebut terlihat logo doctorSHARE beserta lambang palang merah Indonesia.

Sepuluh tahun bukan waktu yang singkat dijalani Stephanie, sejak itulah jiwanya ditempa menjadi orang yang benar-benar peka terhadap penderitaan masyarakat di daerah krisis kesehatan.

"Saya di doctorSHARE sudah 10 tahun, dan 3 tahun terakhir diangkat jadi karyawan tetapnya. Jadi saya berpartisipasi sebagai koordinator untuk program manajer RS Apung milik yayasan dokter peduli," ungkapnya.

Sebagai relawan medis, Stephanie sudah cukup berpengalaman memberikan pelayanan langsung di berbagai daerah. Hampir semua wilayah di Indonesia pernah ditempuh. Wajah-wajah baru dan pengalaman kerelawanan didapatinya di masa mudanya ini.

Pahit getir kisah perjalanan pengabdian itu juga dilaluinya dengan suka cita.

"Kalau daerah yang sudah ditempuh cukup banyak, saya lupa persisnya. Tapi saya sudah pernah ke Aceh sampai Papua. Sumatera, Jawa, Kalimantan, Bali, NTT, NTB, Maluku, Papua, semua sudah, tapi mungkin gak semua bagian Papua dan Maluku sudah didatangi. Kalau ditarik sih, dari Aceh sampai Papua saya sudah pernah melakukan pelayanan," ujarnya.

Saat berada di daerah terpencil, terutama di Indonesia bagian timur, Stephanie kerap kali mengalami kendala-kendala serius, utamanya yaitu soal akses dan transportasi yang sulit. Ditambah lagi jaringan telepon yang tak selamanya ada.

Kisah-kisah pilu itu dilaluinya bersama para relawan lain di daerah terpencil saat berada jauh dari ibu kota Jakarta. Namun kebersamaan dan saling melengkapi membuat mereka kuat menghadapi segala macam rintangan.

"Saya pernah gak bisa pulang ke Jakarta, karena pesawat yang harusnya berangkat rusak. Jadi di daerah terpencil itu namanya pesawat perintis, itu gak setiap hari masuk, gak ada moda transportasi lain, pesawat itu pun jadwalnya seminggu dua kali, ada juga kapal yang jadwalnya seminggu sekali," tuturnya.

Jika moda transportasi massal rusak, maka dia pun hanya bisa pasrah menunggu hingga situasi pulih. Sebab tidak ada pilihan lain yang bisa dilakukan untuk mencapai tempat tujuan.

Sedih lihat kesehatan di Indonesia bagian timur
Di sisi lain, Stephanie sempat terbesit memikirkan mengapa di Indonesia bagian timur masih banyak akses yang sulit dan fasilitas kesehatan yang juga belum sepadan. Menurutnya hal itu tidak seperti di Indonesia bagian barat, di kawasan Jawa dan Sumatera yang rata-rata sudah bagus.

Load More