Scroll untuk membaca artikel
Eko Faizin
Senin, 12 Oktober 2020 | 16:05 WIB
Ihksan (kiri), peternak cupang rumahan sedang menjelaskan tentang budidaya ikan hias tersebut di rumahnya di Pekanbaru, Minggu (11/10/2020). [Suara.com/Eko Faizin]

SuaraRiau.id - Masa pandemi Covid-19 ini tren hobi masyarakat bermunculan. Mulai dari olahraga seperti bersepeda, mengkoleksi tanaman hias dan yang terbaru adalah koleksi ikan hias cupang.

Di Pekanbaru, keberadaan ikan cupang pun sedang naik daun. Hal ini juga membuat para breeder (peternak) cupang bermunculan.

Seperti yang dilakukan Ihksanul Mufqi, seorang tenaga pengajar di MAN 2 Pekanbaru, Riau membudidayakan cupang sejak masa pandemi ini.

"Sejak Mei lalu," jelas Ihksan kepada Suara.com saat ditemui di rumah di Jalan Manggis, Kecamatan Marpoyan Damai, Kota Pekanbaru, Riau, Minggu (11/10/2020).

Di depan pekarangan rumah berukuran kurang lebih 5 x 5 meter, terdapat beberapa kotak styrofoam berlapis plastik sebagai tempat ikan-ikan cupang dibudidayakan.

Di antara tempat tersebut, ada yang berisi anakan cupang, ada yang juga berisi cupang betina. Beberapa ekor cupang terlihat di permukaan, beberapa lagi di dasar dan sebagian menyelip di antara tanaman air.

Ihksan kemudian menunjukkan display koleksi ikan cupangnya di rak besi. Akuariaum mini (solitaire) tertata rapi di ruang depan rumahnya. Beberapa menggunakan toples plastik.

Akuarium dan toples itu berisi berbagai jenis cupang, antara nemo dan cupang koi. Memang berwarna-warni badannya. Ukuran badan sekitar 3-4 cm dan kebanyakan sudah dewasa.

Hampir segala warna ada di sana. Setiap warna dan kombinasi warna punya sebutan sendiri.

"Ada cupang galaxy nemo, cupang galaxy koi. Kalau galaxy ada gliter-gliter warna hijau," ucap Ihksan sambil menunjukkan satu per satu jenis cupang koleksinya.

"Kalau yang lebih dari 5 warna namanya cupang multicolor," tambahnya.

Di antara akuarium mini dan toples juga berisi rendaman daun ketapang yang membuat air jadi kecoklatan. Rupanya karena habitat cupang di tempat air gambut berwarna kecoklatan. Cupang lebih nyaman dengan kondisi seperti itu dan membantu menetralkan kadar pH dalam air.

Di rak bawah ada baskom plastik berisi anakan cupang, kecil-kecil sekali. Kalau pandangan tak fokus maka hanya terlihat air saja.

"Nah kalau yang itu baru usia lima hari. Pakannya masih kutu air," jelasnya sambil menyenter ke arah baskom tersebut.

Ihksan mengaku beberapa kali juga gagal membesarkan anakan, ada yang dimakan indukan jantan dan ada yang mati. Kondisi yang paling sulit mengawinkan adalah sewaktu musim hujan, karena air dan suhu jadi dingin.

Meskipun begitu, ia sudah punya 7 kotak styrofoam berisi anakan cupang yang menunggu besar dan bisa dibeli per lubukan (per kotak styrofoam ). Banyak yang membeli per lubukan untuk dijual kembali, istilahnya reseller. Hal ini memudahkan dan menguntungkan Ihksan juga.

"Misalnya dalam satu lubukan (kotak styrofoam) ada 50 ekor. Harga per ekor Rp 8000 ribu. Kalikan aja segitu," ungkapnya.

Hasil dari bisnis beternak cupang lumayan dan kebanyakan di Pekanbaru, para peternak cupang melakukan usahanya di rumah-rumah.

Dikatakan Ihksan, saat ini kebanyakan orang tak hanya sekadar mengkoleksi cupang saja tapi untuk menikmati proses mutasi cupang," tambahnya.

Dijelaskannya, proses mutasi pada cupang adalah perubahan warna cupang yang bisa berganti-ganti secara alami.

"Pada waktu tertentu akan berhenti (perubahan warnanya) dan tetap," terangnya.

Load More