Deretan Perusahaan Diduga Pelaku Karhutla Riau, Ada dari Malaysia

Dia menuturkan jika lemahnya penegakan hukum terhadap korporasi pelaku karhutla menjadi penyebab utama.

Eko Faizin
Sabtu, 02 Agustus 2025 | 10:04 WIB
Deretan Perusahaan Diduga Pelaku Karhutla Riau, Ada dari Malaysia
Ilustrasi - Deretan Perusahaan Diduga Pelaku Karhutla Riau, Ada dari Malaysia [ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan/bar]

SuaraRiau.id - Sebanyak lima perusahaan disegel Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) lantaran diduga menjadi pelaku kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Riau.

Lima perusahaan yang disegel KLH antara lain adalah PT Adei Plantation Industry, PT Multi Gambut Industri (MGI), PT Tunggal Mitra Plantation (TMP), PT Sumatera Riang Lestari (SRL), dan PT Jatim Jaya Perkasa (JJP).

Dari kelimanya, 3 perusahaan yakni PT Adei, PT JJP dan PT SRL telah tercatat memiliki riwayat buruk dalam kasus karhutla dan pelanggaran lingkungan lainnya.

PT Adei Plantation Industry, perusahaan milik asing asal Malaysia, tercatat dua kali dijatuhi hukuman pidana atas kasus karhutla.

Baca Juga:Kabar Lahan SRL Disegel Pemerintah Terkait Karhutla, Apa Kata Ketua APHI Riau?

Melansir Riauonline.co.id--jaringan Suara.com, langkah ini dilakukan menyusul maraknya titik panas yang terdeteksi di Riau dan semakin meluasnya dampak kebakaran terhadap lingkungan serta masyarakat.

Manajer Pengorganisasian dan Akselerasi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Riau, Eko Yunanda, menilai bahwa kebakaran berulang di wilayah konsesi perusahaan-perusahaan tersebut mencerminkan kelemahan sistem penegakan hukum di Indonesia.

"Kebakaran yang terus berulang menunjukkan bahwa perusahaan tidak takut pada hukum," kata Eko, Kamis (31/7/2025).

Dia menuturkan jika lemahnya penegakan hukum terhadap korporasi pelaku karhutla menjadi penyebab utama mereka abai terhadap kewajiban menjaga arealnya dari kebakaran.

Eko menilai pemerintah seolah tidak memiliki keberanian untuk menegakkan putusan pengadilan terhadap perusahaan pelanggar lingkungan. Contohnya adalah putusan terhadap PT JJP yang hingga kini belum dieksekusi.

Baca Juga:Diduga Terlibat Karhutla Riau: 4 Perusahaan Kena Segel, Satu Pabrik Sawit Ditutup

"Putusan Mahkamah Agung terhadap PT JJP telah berkekuatan hukum tetap sejak 2018, tapi sampai sekarang tidak ada eksekusi. Ini preseden buruk bagi penegakan hukum lingkungan di negeri ini," tegasnya.

Selain itu, Eko juga menyoroti lemahnya pengawasan terhadap izin korporasi serta dugaan keberpihakan penegak hukum terhadap korporasi.

Eko merujuk pada riwayat SP3 yang dikeluarkan Polda Riau pada 2016, yang menurutnya menunjukkan adanya upaya menyelamatkan perusahaan dari jeratan hukum.

WALHI Riau mendesak aparat penegak hukum untuk segera menetapkan perusahaan yang areal kerjanya terbakar sebagai tersangka karhutla.

Penetapan ini penting untuk menimbulkan efek jera dan memastikan perusahaan bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan yang ditimbulkan.

Diketahui, pada 2016, Mahkamah Agung dalam putusan Nomor 2042K/Pid.Sus/2015 menghukum perusahaan ini dengan denda Rp1,5 miliar dan biaya pemulihan sebesar Rp15,1 miliar atas kebakaran seluas 40 hektare yang terjadi pada 2013.

Tidak jera, pada 2020 perusahaan itu kembali dijatuhi denda Rp1 miliar serta kewajiban pemulihan sebesar Rp2,9 miliar oleh Pengadilan Negeri Pelalawan atas kebakaran seluas 4,16 hektare.

Sementara itu, PT Jatim Jaya Perkasa (JJP) bahkan memiliki kasus yang lebih serius.

Perusahaan ini dijatuhi hukuman membayar ganti rugi sebesar Rp119,8 miliar dan biaya pemulihan lingkungan sebesar Rp371,1 miliar oleh Mahkamah Agung melalui putusan Nomor 1095 K/PDT/2018.

Namun hingga saat ini, PT JJP belum menunjukkan itikad baik untuk menjalankan putusan tersebut.

Bahkan, secara mengejutkan, perusahaan ini justru kembali menanam kelapa sawit di area bekas kebakaran, seolah mengabaikan tanggung jawab hukumnya.

Adapun PT SRL lolos dari jerat hukum setelah masuk dalam daftar 15 perusahaan yang penyelidikannya dihentikan oleh Polda Riau melalui Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) pada 2016.

Namun, perusahaan ini juga menyimpan segudang masalah.

Selain membiarkan lahan gambut rusak, PT SRL juga diduga tidak melaksanakan kewajiban restorasi gambut, meningkatkan kerentanan Pulau Rupat dan Pulau Rangsang sebagai pulau kecil.

Tak hanya itu, perusahaan ini juga tercatat membiarkan terjadinya kekerasan terhadap pekerja perempuan dan mempekerjakan anak di bawah umur.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

Terkini