SuaraRiau.id - Anggota DPRD Riau, Hardianto menanggapi soal seorang advokat Bobson Samsir Simbolon yang melaporkan pengelolaan keuangan tahun 2024 Pemprov Riau ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Bobson Samsir melaporkan ke KPK karena laporan keuangan tersebut diduga adanya indikasi korupsi sehingga mendapatkan banyak catatan dari BPK RI.
Menurut Hardianto, sebagai warga negara, setiap orang punya hak konstitusional untuk melaporkan dugaan pelanggaran hukum juga termasuk dugaan korupsi kepada KPK.
"Akan tetapi, semoga ini adalah berlandaskan niat baik dan profesionalitas. Jangan karena untuk kepentingan a atau b atau c," kata anggota dewan tersebut dikutip dari Riauonline.co.id--jaringan Suara.com, Selasa (17/6/2025).
Baca Juga:Gubri Wahid Bakal Rombak OPD yang Tak Tindaklanjuti Temuan BPK
Diketahui, catatan itu mengenai tunda bayar senilai Rp1,76 triliun, utang pihak ketiga sebesar Rp40,81 miliar serta ketekoran kas sekretariat DPRD Riau sebesar Rp3,33 miliar.
Hardianto menjelaskan bahwa tunda bayar bukanlah kerugian daerah akibat adanya kehilangan uang, akan tetapi tunda bayar yaitu utang yang dikarenakan tidak ada uang untuk membayar.
"Saya yakin lembaga KPK juga akan menyikapinya laporan ini sesuai konstitusinya. Apakah tunda bayar itu merugikan negara atau tidak? Tunda bayar itu bukan uang hilang tapi uang yang tidak ada untuk membayar," tegas dia.
Temuan BPK tunda bayar Pemprov Riau Rp1,7 triliun
Sebelumnya, Direktur Jendral Pemeriksaan Keuangan Negara II BPK RI, Nelson Ambarita menyatakan Pemprov Riau menerima opini wajar dengan pengecualian (WDP) atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Tahun Anggaran 2024 dari Badan Pemeriksa Keuangan RI.
Baca Juga:Pemprov Riau Tunda Bayar Rp1,7 Triliun, Begini Respons Gubri Wahid
Hal tersebut disampaikan Nelson saat rapat paripurna DPRD Riau dengan agenda penyerahan laporan hasil pemeriksaan (LHP) atas laporan keuangan Pemprov Riau tahun anggaran 2024.
"Akibatnya, ketidakmampuan Pemprov Riau dalam menyelesaikan seluruh realisasi belanja tahun berjalan dan kewajiban jangka pendek tahun sebelumnya serta kewajiban jangka pendek berupa hutang PFK (Perhitungan Fihak Ketiga) dan hutang belanja masing-masing sebesarRp40,81 miliar dan Rp1,76 triliun membebani dan mmengganggu program tahun berikutnya," sebut Nelson dikutip dari Antara, Senin (2/6/2025)
Beberapa permasalahan yang perlu diperhatikan diantaranya Pemprov Riau belum menyusun anggaran penerimaan secara terukur dan rasional, pengendalian belanja dan pengelolaan utang yang tidak memadai.
BPK mendapati manajemen kas daerah pada Pemprov Riau tidak memadai sehingga terdapat penggunaan dana PFK sebesar Rp39,22 miliar, yang mengakibatkan Sisa Kurang Perhitungan Anggaran (SKPA).
BPK juga mendapati ketekoran kas pada Sekretariat DPRD Riau mengakibatkan indikasi kerugian keuangan daerah sebesar Rp3,33 miliar.
"Dan terakhir, penatausahaan belanja perjalanan dinas tidak memadai dan pertanggungjawaban belanja perjalanan dinas pada Pemprov Riau tidak sesuai ketentuan. Sehingga mengakibatkan kelebihan pembayaran belanja perjalanan dinas sebesar Rp16,98 miliar," jelas Nelson.
Berdasarkan hasil pemeriksaan BPK berdasarkan Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN), menunjukkan bahwa LKPD Pemprov Riau tahun 2024 belum sepenuhnya sesuai dengan standar akuntansi Pemerintahan (SAP).
Kemudian LKPD masih terdapat ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan yang material dan berpengaruh langsung terhadap penyajian laporan keuangan.
"Atas pertimbangan tersebut, BPK memberikan opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) atas LKP Pemprov Riau tahun 2024 dengan pengecualian atas akun aset lainnya," kata dia.
Sementara itu, Gubernur Abdul Wahid mengatakan Pemprov Riau telah berupaya semaksimal mungkin menyusun laporan keuangan sebagai wujud pertanggungjawaban keuangan yang dikelola Riau.
Terdapat cacatan dan temuan BPK yang harus segera ditindaklanjuti agar pengelolaan keuangan Riau lebih baik ke depannya.
"Kami berterima kasih kepada BPK telah melakukan pemeriksaan keuangan. Kami akan bekerja menindaklanjuti cacatan yang disampaikan BPK. Memang opini turun dari WTP menjadi WTP. Salah satu penyebabnya tunda bayar Rp1,7 triliun yang dialami," ujarnya.