SuaraRiau.id - Baliho dan spanduk berisi dukungan Presiden Jokowi tiga periode bertebaran di sejumlah ruas jalan Pekanbaru, Senin (7/3/2022).
Baliho tersebut berisi dukungan terhadap kepemimpinan Presiden Jokowi untuk 2024 mendatang.
Dalam narasinya, baliho itu menerangkan bahwa rakyat butuh kerja nyata dan mendukung Presiden Jokowi yang sudah dua periode untuk lanjut menjadi presiden tiga periode.
Baliho itu dibuat mengatasnamakan Koalisi Bersama Rakyat (Kobar) dan diduga menjadi pemilik baliho.
Pengamat Politik Riau Dr Tito Handoko menilai, bahwa munculnya baliho-baliho tersebut merupakan framing dan upaya membangun opini publik
"Pertama, munculnya baliho merupakan framing, pembangunan opini publik bahwa terdapat dukungan untuk melanjutkan periodesasi kepemimpinan Pak Jokowi. Ini nanti gejalanya seperti itu, survei, terus dipublikasikan di media, terus akan dilihat apakah mayoritas publik mendukung apa menolak, perpanjangan masa jabatan atau penundaan. Nah itu gejalanya dalam komunikasi sudut pandang komunikasi politik," kata Tito, kepada Suara.com, Senin (7/3/2022).
Kedua, kata dia, sebagai negara berlandaskan hukum dan konstitusi yang mengatur negara, mestinya wacana perpanjangan jabatan presiden atau wacana-wacana penundaan pemilu itu tidak usah didiskusikan lagi.
"Kita taat konstitusi aja. Kita akan sangat berbesar hati dan berbangga hati apabila pemimpin publik tidak usah mewacanakan ini lagi. Karena itu semua sudah diatur dalam UU 1945, bahwa masa jabatan presiden hanya 2 periode atau 10 tahun," ungkapnya.
Tito mengambil contoh dan mesti bercermin dari negara lain, misalnya seperti Filipina. Negara tersebut hanya menerapkan satu periode dan warganya taat konstitusi, apalagi sampai mendesain pendukungnya untuk melanjutkan periodesasi kepemimpinan.
"Ciri negara demokrasi yang baik adalah warganya taat konstitusi, itu pertama, dan kedua, memahami bahwa adanya pergantian kepemimpinan nasional, pergantian aktor dan segala macam itu akan membawa perubahan yang lebih baik untuk menghindari polarisasi kekuasaan, menghindari otoritarian, harapannya seperti itu," tuturnya.
Adanya wacana-wacana yang berhembus saat ini, menurut dosen muda Universitas Riau ini, dari sudut pandang etika moral, mestinya pejabat publik tidak perlu mendiskusikan itu lagi.
"Sudah berhenti saja di situ, ketua-ketua partai politik yang paham konstitusi berhenti (hentikan wacana tersebut) aja sampai situ, tidak usah lagi menyuarakan soal pengunduran pemilu, perpanjangan masa jabatan presiden maupun DPR MPR itu yang akan habis di 2024 nanti," jelasnya.
Ia berharap, konstitusi dapat berjalan dengan baik dengan mengikuti mekanisme yang berlaku di Indonesia.
"Mekanismenya di Pemilu 2024 sebagai motor penggerak demokrasi, supaya partisipasi publik itu lebih meningkat lagi," ujarnya.
Menurut Tito, framing dan upaya membangun opini publik tersebut dinilai kurang etis. Itu merupakan salah satu langkah atau semacam masukan kepada MPR-DPR untuk membawa ke sidang-sidang mereka secara internal.
"Sehingga nanti apakah memungkinkan untuk diamandemen undang-undang dasar, ada tujuan dibalik itulah," kata Tito.
Tito berharap, konstitusi dapat berjalan sesuai aturan. Menurut dia, siapapun mereka yang melakukan itu maka sudahilah.
"Kita semua sepakat dengan pendapat banyak orang juga, teman-teman aktivitas hari ini, bahwa setelah 2024, Pak Jokowi itu cocok kita jadikan Bapak Bangsa," ungkapnya.
Di sisi lain, upaya-upaya framing tersebut diduga kuat dimotori oleh orang-orang intelektual yang memiliki kepentingan.
Tito menilai, sudah tentu demikian. Sebab banyak sekali kepentingan orang-orang yang selama ini dekat dengan kekuasaan.
"Ya, banyak sekali kepentingan pasti, tidak hanya itu (orang-orang intelek), tapi kepentingan orang-orang yang selama ini dekat dengan kekuasaan. Kalau saya bilang maaf dalam tanda petik, menyusu dari kekuasaan, seperti itulah yang kayaknya gak siap ketika akan berganti kepemimpinan nasional," tegas dia.
Kontributor : Panji Ahmad Syuhada