Polisi Virtual Verifikasi 89 Konten Ujaran Kebencian, Terbanyak di Twitter

Dari 89 konten tersebut, lanjut Ramadhan, sebanyak 40 konten dalam proses pengiriman pesan langsung.

Eko Faizin
Jum'at, 12 Maret 2021 | 21:34 WIB
Polisi Virtual Verifikasi 89 Konten Ujaran Kebencian, Terbanyak di Twitter
Ilustrasi media sosial (unsplash/@dole777)

SuaraRiau.id - Sebanyak 89 konten terdeteksi mengandung ujaran kebencian di media sosial, terbanyak dari Twitter.

Temuan Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri antara periode 23 Februari hingga 11 Maret 2021.

"Jadi yang banyak itu melalui Twitter," kata Kepala Bagian Penerangan Umum (Kabag Penum) Humas Polri Kombes Pol Ahmad Ramadhan di Mabes Polri dikutip dari Antara, Jumat (12/3/2021).

Berdasarkan data Polisi Virtual atau Virtual Police (Dit Tipisiber) pada periode itu 125 konten diajukan untuk diberikan peringatan 'virtual police" didominasi platform Twitter 79 konten, Facebook 32 konten, Instagram 8 konten, YouTube 5 konten dan Whatsapp satu konten.

Lebih lanjut, Ramadhan juga menjelaskan data dari Virtual Police Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri ada sebanyak 125 konten media sosial yang diajukan untuk diberikan peringatan Virtual Police.

Dari 125 konten tersebut sebanyak 89 konten dinyatakan lolos verifikasi untuk diberi peringatan Virtual Police melalui pesan langsung (direct message).

"Ini artinya 89 konten itu memenuhi unsur ujaran kebencian, 36 tidak lolos verifikasi (tidak memenuhi unsur ujuran kebencian-red)," ujar Ramadhan.

Dari 89 konten tersebut, lanjut Ramadhan, sebanyak 40 konten dalam proses pengiriman pesan langsung, 12 kltan dalam proses peringatan pertama, 9 konten peringatan kedua, 7 koten tidak terkirim dan 21 konten gagal terkirim.

Konten yang gagal terkirim itu maksudnya, akun tersebut hilang atau dihapus sebelum diberikan peringatan langsung oleh virtual police.

"Jadi belum sempat diperingati kontennya hilang, 'hit and run' itu namanya," kata Ramadhan.

Sejak 23 Februari 2021, Virtual Police Dittipidsiber Bareskrim Polri melakukan patroli siber setiap hari untuk mengawasi konten-konten yang terindikasi mengandung hoaks serta hasutan berbau ujaran kebencian.

Sebelum memberikan peringatan secara virtual, pihaknya telah meminta pendapat ahli pidana, ahli bahasa, maupun ahli ITE. Dengan demikian, peringatan virtual dilakukan atas pendapat ahli, bukan pendapat subjektif penyidik Polri.

Pesan peringatan itu dikirimkan dua kali ke warganet yang diduga mengunggah konten hoaks maupun ujaran kebencian. Tujuannya, dalam waktu 1x24 jam, konten tersebut dihapus oleh si pengunggah.

Jika unggahan di medsos tersebut tidak juga dihapus oleh pengunggah/ pemilik akun, penyidik akan kembali memberikan peringatan virtual. Jika peringatan kedua tetap tidak dipatuhi, maka pengunggah/ pemilik akun akan dipanggil untuk dimintai klarifikasi.

"Prinsipnya 'virtual police' itu memperingati kepada akun-akun apapun bentuk platformnya," kata Ramadhan.

Dengan adanya peringatan ini diharapkan masyarakat bisa berfikir dua kali sebelum menyebarkan hoaks atau konten-konten yang mengandung fitnah, ujaran kebencian menggunakan platform apapun.

Polri mengharapkan masyarakat pengguna akun media sosial yang pernah mendapatkan peringatan langsung dari virtual police dapat menyebarluaskan pengalamannya kepada teman maupun keluarganya supaya aktivitas di media sosial lebih terjaga.

"Mudah-mudahan dengan 'virtual police' ini masyarakat sadar, bisa jadi karena sebagian tidak tau. Ketika masyarakat yang kena teguran, disampaikan ke teman-temannya. Harapan kita mereka bisa berbagi pengaman ke saudaranya untuk tidak sebarkan kebencian di media sosial," ujar dia. (Antara)

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

Terkini

Tampilkan lebih banyak