"Toleransi kami sangat kuat, sehingga kami bisa merayakan perayaan itu bergantian, ada yang lebaran, natal tahun baru dan Imlek juga," ungkapnya.
Sebagai gadis Tionghoa, dokter muda ini pun tak menepis realitas bahwa etnis Tionghoa lainnya terkenal banyak yang menjalani roda bisnis.
Namun sepertinya hal itu belum membuat Stephanie tertarik, sebab menurut dia latar belakang pendidikannya yang kedokteran membuat ia memilih jalan pengabdian itu.
"Memang untuk rata-rata yang dikenal etnis Tionghoa mereka menjalankan bisnis. Kalau saya pribadi mungkin karena kuliah kedokteran, dan menjalani apa yang saya mau dalam hidup saya," ujarnya.
Kehidupan sebagai relawan memang diakui Stephanie tidak terlalu menjanjikan. Namun tolak ukurnya bukan di situ, dia memilih jalan tersebut lantaran panggilan jiwa.
"Menjanjikan tidak juga sih, kita dapat tunjangan ya secara relawan. Kalau dibandingkan dengan mata pencarian berbisnis sudah pasti tak sepadan dan gak sesuai. Tapi bukan itu yang dicari, tapi kebahagiaan yang pertama, kemudian kepuasan batin yang gak akan didapati dari kegiatan lainnya," tuturnya.
Bagi Stephanie, bisa bertemu dan berinteraksi dengan masyarakat dari berbagai macam suku, latar belakang, dan mengimplementasikan keilmuannya merupakan hal yang lebih dari cukup.
"Jadi ini memang passion saya, meskipun tidak ada jejak orang tua sebagai dokter maupun relawan," ujarnya.
Di awal tahun 2021, Stephanie mengambil jalan baru. Status kerelawanannya tidak berhenti sampai di sini, namun dia hanya memilih untuk resign sebagai karyawan di yayasan dokter peduli. Bukan persoalan apa-apa, hanya saja ia memilih untuk memfokuskan diri melanjutkan studinya untuk mengambil program spesialisasi.
"Status kerelawanan saya tak berhenti, hanya saja resign sebagai karyawan. Saya ingin melanjutkan sekolah, sekarang sedang persiapan," tukasnya.
Kontributor : Panji Ahmad Syuhada