Pengabdian dr Stephanie Melayani Kesehatan Warga, Menjangkau Daerah Krisis

Semangat Stephanie mengabdi di wilayah yang kekurangan tenaga kesehatan tersebut patut diapresiasi.

Eko Faizin
Jum'at, 12 Februari 2021 | 13:56 WIB
Pengabdian dr Stephanie Melayani Kesehatan Warga, Menjangkau Daerah Krisis
Dokter Stephanie saat menyusuri laut menggunakan perahu.[Ist]

"Indonesia timur itu dokternya masih kurang, bahkan ada faskes tak ada dokter sama sekali. Banyak yang saya lihat, bahkan ada beberapa lokasi yang ketika warga melahirkan saja sulit. Apalagi kalau sampai komplikasi persalinan, itu harus dirujuk. Nah di rujuk itu tak ada akses, ke rumah sakit mereka sampai harus sewa kapal, sampe 7 jam perjalan dan itu pun tidak setiap hari (jadwal kapal)," ujarnya lirih.

Kemudian, sulitnya akses kesehatan itu juga dibarengi dengan banyaknya ekonomi warga di daerah terpencil yang masih kurang mampu. Hal ini menjadi masalah serius yang dihadapi masyarakat di sana.

"Jadi kalau sempat dirujuk itu menjadi suatu pemikiran sendiri bagi keluarga. Karena mikir sewa kapal, belum lagi kebutuhan-kebutuhan makan dan lain-lain," tuturnya.

Dalam ingatan Stephanie, musibah gempa, tsunami dan likuefaksi di Palu, Sulawesi Tengah juga merupakan salah satu kejadian yang paling menyayat hati. Karena selama 4 bulan dia melihat langsung bagaimana traumanya masyarakat akibat bencana alam tersebut.

"Gempa tsunami palu jadi momen sendiri bagi saya, karena saya melihat sendiri sejak hari kelima pasca kejadian sampai 4 bulan di Palu, sedih melihat traumanya masyarakat, melihat bagusnya bangunan lalu rusak karena tsunami. Ada korban likuefaksi juga, rumah bener-bener terseret oleh kejadian tersebut, jadi tak ada lagi harta benda mereka. Saya dengar dan lihat langsung dari mereka," ungkapnya.

Melihat penderitaan warga yang krisis kesehatan juga dirasakan Stephanie di berbagai daerah lainnya di Indonesia. Namun hal yang paling berkesan, kata dia, yaitu saat berada di bagian timur Indonesia.

Dukungan keluarga modal utama
Selama menjalani pengabdiannya tersebut, dokter muda keturunan Tionghoa ini mendapat dukungan penuh dari keluarga. Menurutnya, dukungan dari keluarga yang berada di Pekanbaru ini menjadi modal utama dalam perjalanan hidupnya tersebut.

Stephanie merupakan warga asli Pekanbaru. Jenjang pendidikan sejak taman kanak-kanak hingga menamatkan SMA juga di Pekanbaru. Stephanie tercatat merupakan alumni SMA Negeri 9 Pekanbaru, setamat itu barulah ia pergi merantau dan menjalani studi kedokteran di Jakarta hingga saat ini.

"Keluarga saya sangat mendukung sekali, mereka tahu apa yang saya kerjakan, saya juga melaporkan aktivitas di sini," ujarnya.

Meski tidak ada jejak keturunan dari orang tua yang menjadi dokter maupun relawan, namun keteguhan hati Stephanie untuk mengabdikan dirinya sebagai relawan sudah terpatri sejak dini. Itu terbukti dari kegigihannya selama sepuluh tahun memilih jalan pengabdian untuk melayani.

Bahkan dalam perayaan tahun baru Imlek, Stephanie juga tidak selalu bisa pulang dan berkumpul dengan keluarganya di Pekanbaru. Pengalaman merayakan Imlek jauh dari keluarga pernah dijalaninya di daerah krisis.

Seperti saat tahun 2019, dia berada di Palu. Stephanie tidak bisa pulang ke bumi lancang kuning karena jadwal pelayanan belum berakhir.

Dia pun mesti merelakan momen kehangatan bersama keluarga karena berada di tanah rantau dan hanya bisa merayakan hari raya keagamaan tersebut bersama sejawatnya dari lokasi bencana.

"Untuk hari raya Imlek saya gak selalu pulang, pernah saya di lokasi, dua tahun lalu saya gak pulang, saya di Palu. Saya melakukan hari raya Imlek bersama temen-teman relawan (yang satu keyakinan) lainnya," tuturnya.

Dalam lingkungan kerelawanan itu juga, Stephanie menyebut bahwa toleransi sangat dijunjung tinggi oleh para relawan selama di lokasi tujuan pengabdian. Sebab keberagaman dalam kebersamaan selalu menjadi kunci untuk menjalin kerjasama yang baik dalam melayani masyarakat.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini