SuaraRiau.id - Istilah menggadaikan anak sepintas memang tidak enak didengar. Sebagian mungkin mengartikan dalam makna sebenarnya atau malah lebih menjuru pada kondisi kesulitan ekonomi hingga menjual anak.
Namun di Padang, pada masyarakat Minangkabau Sumatera Barat, menggadaikan anak ialah tradisi turun temurun. Istilah menggadaikan anak masih sangat terkenal di sejumlah daerah, misalnya daerah Pesisir Selatan, Pariaman, Agam dan daerah sekitarnya.
Budaya turun temurun ini juga belum diketahui catatan sejarahnya. Hanya saja, budayanya terus berlangsung dari oang tua dan mertua hingga sekarang ini.
Menurut kepercayaan masyarakat Minang, tradisi gadai anak ini dilakukan jika terjadi kemiripan wajah antara anak laki laki dengan ayah ataupun anak perempuan dengan ibunya.
Baca Juga:Antisipasi Penyebaran Covid-19 Saat Pilkada, Pemprov Riau Siapkan Ini
Dengan alasan kemiripan tersebut mertua taupun orang tua akan menganjurkan agar menggadaikan anak kepada salah satu ”bako” -- saudari perempuan atau karib kerabat dari pihak suami.
Alasan menggadaikan anak ini agar kemiripan raut wajah mereka tidak menjadi petaka, seperti ketidakharmonisan hubungan mereka, sakit-sakitan atau malah meninggal salah satunya.
Anak yang digadaikan ini biasanya ketika mulai berhenti menyusui dari sang ibu, atau berumur sekitar umur 2 tahun.
Proses penggadai diawali dengan orang tua kandung mendatangi calon orang tua gadai, kemudian secara simbolis anak ditukarkan dengan sejumlah uang, beras, baju atau benda benda lainnya.
Meski sudah digadaikan, hak asuh anak tetap berada pada orang tua kandungnya.
Baca Juga:Peserta MTQ 2020 Asal Riau Harus Tes Swab Covid 19 Dua Kali
Proses gadai tetap wajib ditebus kembali saat anak sudah dewasa atau biasanya saat akan khitan atau menikah.
Di kabupaten Agam sendiri ada sesuatu yang unik saat prosesi menebus gadaian kala anak akan menikah, di mana orang tua kandung sang anak akan datang ke rumah orang tua pemberi gadai dengan menjujung (Jamba) dan setelah makan bersama barulah anak ditebus kembali.
Meski sudah ditebus, bagi sang anak, si pemberi gadai ini akan menjadi orang tua angkat. Silaturahmi antara keduanya harus tetap terjalin bahkan tidak jarang akhirnya orang tua gadai ini menjadi mertuanya.
Sumber : https://www.covesia.com/