Eko Faizin
Minggu, 13 November 2022 | 09:16 WIB
Ilustrasi korban pelecehan seksual. [Shutterstock]

SuaraRiau.id - Kasus dugaan kekerasan seksual mahasiswa terhadap mahasiswa asal Jakarta di Universitas Islam Riau (UIR) hingga kini masih berlanjut.

Diketahui, perkara itu mulai mencuat usai sebuah akun Twitter menyebut ada pelecehan seksual berupa dugaan tindakan sodomi kepada peserta Pertukaran Mahasiswa Merdeka (PMM) di UIR.

Kuasa hukum korban, Tegar Putuhena menilai UIR tidak memiliki perspektif yang baik dalam menangani kasus ini lantaran tak ada keberpihakan pada korban dalam langkah yang diambilnya.

Padahal sebelumnya orangtua korban telah mengadukan hal ini kepada pihak kampus melalui dosen psikologi beberapa hari sebelum peristiwa ini viral di sosial media.

"Orangtua korban saat itu juga menghubungi penanggung jawab Pertukaran Mahasiswa Merdeka (PMM) UIR, namun mereka saat itu meminta hasil visum et repertum, baru aduan tersebut dapat ditindaklanjuti oleh kampus," terang Tegar kepada Antara, Jumat (11/11/2022).

Dijelaskannya, peristiwa kekerasan seksual yang dialami oleh kliennya terjadi di asrama UIR saat melaksanakan program PMM. Kejadian tersebut dilakukan oleh dua oknum mahasiswa berinisial R dan seorang lagi yang belum diketahui namanya pada 14 dan 17 Oktober lalu.

Namun pihaknya belum dapat memastikan apakah kedua terduga merupakan mahasiswa dari kampus Islam tersebut.

"Kami belum bisa memastikan. Namun yang jelas keduanya tinggal di asrama mahasiswa UIR," paparnya.

Akibat peristiwa tersebut, korban mengalami trauma dan segera dievakuasi oleh keluarganya pada Sabtu (22/10/2022).

Akhirnya karena permintaan dari kampus yang meminta bukti visum, korban melakukan visum dan membuat laporan polisi di Bareskrim Polri.

"Lantaran visum hanya dapat dilakukan atas perintah penyidik, sehingga mau tidak mau, korban harus membuat laporan polisi demi bisa mendapatkan visum tersebut," lanjutnya.

Dikatakan Tegar, pihaknya telah meminta kepada pihak UIR segera merespons peristiwa ini dengan melakukan segala tindakan yang dianggap perlu demi kepentingan terbaik korban. Namun hingga saat ini, tidak tampak upaya serius yang telah dilakukan oleh UIR.

"Jangankan upaya pengusutan, pendampingan pada korban pun tak kunjung dilakukan," sebutnya.

Selain itu, korban sempat mendapatkan undangan melalui pesan WhatsApp untuk bertemu di Jakarta, Selasa (15/11/2022) mendatang.

Namun karena pertimbangan kondisi psikologis korban, korban belum dapat dihadirkan dalam pertemuan dan akan diwakili oleh orangtua dan kuasa hukum bersedia.

"Namun rupanya pertemuan tersebut dibatalkan secara sepihak dengan alasan ketidakhadiran korban," ujar Tegar.

Tegar menilai, seharusnya berdasarkan regulasi yang ada, pihak UIR harusnya memberikan respons cepat, minimal pendampingan kepada korban.

"Tapi langkah minimal seperti itu saja tidak dilakukan. Menurut kami, pemihakan kepada korban harus memiliki bentuk nyata dalam bentuk pendampingan maupun perlindungan, bukan hanya kata-kata semata," ungkap dia. (Antara)

Load More