Scroll untuk membaca artikel
Eko Faizin
Jum'at, 01 April 2022 | 12:15 WIB
Seorang perempuan Afghanistan menggendong anaknya di tengah orang-orang yang menunggu paket bantuan yang disalurkan oleh sebuah kelompok bantuan kemanusiaan Turki. [Dok.Antara/Reuters]

SuaraRiau.id - Peralihan kekuasaan ke Taliban ternyata berdampak krisis pangan dan ekonomi yang menyerang Afghanistan. Akibatnya, banyak warga Afghanistan yang dikabarkan menjual bayi dan anak perempuan mereka untuk bertahan hidup.

Masalah lain yang turut muncul dalam krisis ini adalah peningkatan kasus malnutrisi dan kematian akibat kelaparan, yang paling banyak menyerang anak-anak.

Sebab krisis ekonomi menyebabkan masyarakat tak memiliki kemampuan daya beli, serta tak memiliki akses terhadap perawatan kesehatan.

Taliban

Sejak Taliban berkuasa disebutkan bahwa hampir 60 persen perempuan yang bekerja di media harus mundur dari pekerjaannya.

Kejadian itu dinilai berdampak buruk sebab menurut Federasi Jurnalis Internasional, lebih dari 90 persen dari mereka merupakan pencari nafkah tunggal.

“Para ibu tidak dapat membayar perawatan antenatal dan postnatal mereka, dan sebagai bukti angka kematian dan kesakitan ibu meningkat pesat, dan juga mempengaruhi kematian anak,” terang mantan Menteri Kesehatan Afghanistan, Dr Wahid Majrooh.

Menurut data yang dilansir oleh Kementerian Kesehatan Masyarakat (Kemenkes) awal bulan ini, hampir 13.700 bayi baru lahir dan 26 ibu meninggal pada 2022 karena kekurangan gizi.

Kepala Departemen Nutrisi Direktorat Kesehatan Masyarakat, Dr Abdul Rahman Ulfat menyatakan bahwa di Provinsi Baghlan bahwa dia telah mengamati adanya peningkatan kasus kelaparan dan kekurangan gizi yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Kepada Al Jazeera, ia menemukan bahwa anak-anak yang berusia di bawah lima tahun adalah yang paling terpengaruh.

Ketika mereka tak mendapat nutrisi yang cukup mereka menjadi yang paling beresiko kehilangan nyawa.

Dia juga melaporkan bahwa orang tua di Afghanistan berbondong-bondong pergi ke rumah sakit dan klinik dengan membawa bayi yang sakit dan anak-anak yang kurus hingga tulang mereka terlihat.

Selain krisis pangan dan kesehatan, lembaga bantuan internasional juga berjuang untuk mengatasi krisis keuangan yang dipicu oleh sanksi internasional.

Seperti diketahui bahwa salah satu yang berpengaruh pada krisis ini adalah sanksi yang dijatuhkan AS dan negara lainnya pada Taliban yang menambah sulitnya akses bantuan yang akan dikirim ke sana. Bank-bank di Afghanistan juga harus sangat berhati-hati dalam melakukan operasi karena kekurangan mata uang di negara tersebut.

Direktur HRW John Sifton mengatakan krisis kemanusiaan Afghanistan adalah krisis ekonomi,

“Orang Afghanistan melihat makanan di pasar tetapi kekurangan uang untuk membelinya. Petugas kesehatan siap menyelamatkan nyawa tetapi tidak memiliki gaji atau persediaan. Miliaran dana bantuan telah dijanjikan tetapi tetap tidak dihabiskan karena bank tidak dapat mentransfer atau mengakses dana,” ucapnya dikutip Hops.id--jaringan Suara.com dari laman Al Jazeera, Jumat (1/3/2022).

Menanggapi krisis ini, salah seorang warga Afghanistan bernama Farhanaz (bukan nama sebenarnya) mengatakan bahwa ia sangat prihatin dan putus asa.

“Ada rasa putus asa yang terlihat di antara jutaan orang Afghanistan. Orang menjual bayi dan anak perempuan mereka untuk bertahan hidup. Namun warga Afghanistan tetap saja kehilangan nyawa mereka,” katanya sambil menahan air mata.

Farhanaz menambahkan bahwa ia berharap Taliban akan memperbolehkan perempuan kembali bekerja sehingga bisa membantu keluarga untuk bertahan hidup. Ia juga mengatakan bahwa Taliban bertanggung jawab atas krisis ini, ia meminta agar Taliban menolong masyarakat Afghanistan untuk keluar dari kesengsaraan.

Load More