Scroll untuk membaca artikel
Eko Faizin
Selasa, 21 Desember 2021 | 11:40 WIB
Ilustrasi pengadilan kasus investasi bodong. [Suara.com/Welly Jasrial Tanjung]

SuaraRiau.id - Pormian nampak berurai air mata saat menceritakan dirinya tertipu investasi bodong dengan bunga yang besar oleh lima bos perusahaan di Riau.

Ia menuturkan hal tesebut saat menjadi saksi pada lanjutan sidang kasus investasi abal-abal di Pengadilan Negeri Pekanbaru, Senin (20/12/2021).

"Saya tertarik ikut investasi karena diiming-imingi terdakwa bunganya besar, tetapi modal yang telah disetorkan Rp 17,8 miliar tidak sesuai dengan perjanjian awal (Bunga 9-12 persen)," jelas Pormian dikutip dari Riauonline.co.id--jaringan Suara.com.

Tak hanya itu, ia juga sering mengeluh sakit karena memikirkan uang yang hilang tersebut dan meminta terdakwa mengembalikan uangnya.

"Gara-gara ini saya sakit, saya minta agar mereka mengembalikan uang saya. Uang itu sudah saya kumpul kumpul sejak saya berumah tangga," ujar Pormian.

Diketahui, pada sidang pemeriksaan saksi, ada 5 korban yang turut hadir. Mereka antara lain AR Napitupulu, Darto Siagian, Agus Pardede dan Melly Novriati.

Kerugian dalam kasus investasi abal-abal itupun bervariasi, mulai ratusan juta hingga miliaran rupiah.

Dalam proses persidangan, majelis hakim juga sempat mempertanyakan alasan tiga terdakwa yang tiba-tiba tidak hadir.

Hakim mengaku tak dapat pemberitahuan terkait ketidakhadiran terdakwa lain yang disebut sakit.

Sebelumnya, lima bos perusahaan investasi di Riau didakwa melakukan penipuan terhadap para nasabahnya dengan kerugian para korban mencapai Rp 84,9 miliar.

Sidang dakwaan kelima bos perusahaan investasi itu digelar pertama kali di PN Pekanbaru, Senin, 22 November 2021lalu.

Kelima terdakwa adalah Bhakti Salim, Agung Salim, Elly Salim, Christian Salim, dan Maryani.

Penipuan investasi itu disebut dilakukan dua anak perusahaan Fikasa Group, yakni PT Tiara Global dan PT Wahana Bersama Nusantara. Dalam dakwaan yang dibacakan jaksa penuntut umum (JPU), ada 10 korban yang melaporkan kasus itu ke Mabes Polri.

Dia mengatakan kasus itu berawal pada 2016. Saat itu, PT Wahana, yang bergerak di bidang usaha consumer product dan PT TGP di bidang usaha properti bernaung di bawah Fikasa Group, membutuhkan tambahan modal operasional perusahaan.

Terdakwa 2, Agung Salim yang menjabat Komisaris Utama di PT Wahana mencari ide untuk mendapatkan tambahan modal. Lalu diputuskan menerbitkan promissory note (surat sanggup bayar) atas nama perusahaan dalam Fikasa Group. Kemudian, terdakwa Agung Salim menyuruh Maryani menjadi marketing dari PT Wahana dan Tiara.

Terdakwa Maryani lalu mendatangi korban di Pekanbaru pada Oktober 2016. Maryani disebut menawarkan investasi dengan bunga 9% sampai 12% per tahun dengan menjadi pemegang promissory note PT Wahana dan PT Tiara.

Bunga bank pada umumnya hanya 5% per tahun, tetapi Maryani menjanjikan bunga 9-12%. Jadi tabungan berbentuk promissory note ini lebih menguntungkan.

Singkat cerita, para terdakwa mendapat dana miliaran rupiah dari nasabah. Namun dana itu bukan dikirim ke PT Wahana.

Dana itu dikirim ke rekening perusahaan lain, di luar kesepakatan. Akibatnya, para nasabah hanya menerima persenan dari suntikan modal hingga 2019.

Sejak saat itu, nasabah tidak lagi ada mendapat persenan. Termasuk modal yang disuntikkan juga tak ada kejelasan.

Load More