Scroll untuk membaca artikel
Eliza Gusmeri
Jum'at, 19 November 2021 | 15:37 WIB
Bangunan pendopo yang merupakan tempat berkumpul dan bermusyawarah masyarakat adat Sakai terletak di kawasan hutan adat, Desa Kesumbo Ampai, Kecamatan Bathin Solapan, Kabupaten Bengkalis.[Suara.com/Panji Ahmad Syuhada]

SuaraRiau.id - Hutan yang berada di tanah ulayat masyarakat adat suku Sakai Kabupaten Bengkalis nyaris terkikis habis, luasnya tinggal 207 hektar dari sebelumnya 17.000 hektar.

Sisi kanan kontras dengan lahan sawit, juga bersempadan dengan konsesi HTI dan eksplorasi minyak dan gas. Menjaga hutan ini, masyarakat Sakai mengandalkan warkah dan sanksi adat, juga ditopang program pemberdayaan masyarakat adat.


JALAN setapak yang terletak di tanah ulayat masyarakat adat suku Sakai Bathin Sobanga terlihat kontras membelah kawasan hutan. Di sisi kiri, pepohonan tua rindang masih asri dengan suara khas tenggoret dan serangga hutan yang nyaring terdengar samar-samar.

Sementara sisi kanan, pohon-pohon sawit sudah berdiri tegak di lahan tandus yang berbukit. Usia sawit itu tentu lebih muda dari pepohonan di seberang jalan.

Baca Juga: Pasca Gigit Seorang Polisi, Hong Kong Mulai Kurangi Populasi Babi Hutan

Lokasi ini, menjadi akses utama menuju ke perkampungan masyarakat adat suku Sakai di Desa Kesumbo Ampai, Kecamatan Bathin Solapan, Kabupaten Bengkalis. Jalan bebatuan dengan luas hanya dua kendaraan roda empat itu dinamai Jalan Tanah Persatuan.

Seperti namanya, "persatuan" menjadi asas dan kekuatan masyarakat suku Sakai mempertahankan mati-matian hutan adat yang masih tersisa.

"Hutan adat kami ini hanya tinggal 207 hektar," kata Muhammad Nasir, kepada Suara.com.

Senin malam, 7 November 2021, kepala perbatinan suku Sakai Bathin Sobanga ini melintasi jalanan tersebut. Seperti biasa, suasana gelap dan hening ditambah embun yang membasahi kap mobilnya membuat hawa tampak mencekam.

Namun kondisi inilah yang tetap diharap masyarakat, lantaran, hutan tropis yang dijaga bersama tersebut diupayakan bisa tetap lestari.

Baca Juga: Indonesia Disebut Pemilik Lahan Mangrove Terbesar Dunia, Berapa Sih Luasnya?

Masyarakat Sakai, awal 2021 kembali berusaha untuk mendapatkan pengakuan hutan adat, mereka menyampaikan hajat itu ke Lembaga Adat Melayu (LAM) Riau, kemudian Pemerintah Provinsi Riau agar diteruskan ke Pemerintah Pusat.

Tujuannya supaya hutan yang tinggal sedikit itu tetap bisa dipertahankan dengan skema adat hingga bisa diwariskan ke generasi Sakai mendatang. Atau ringkasnya; pengakuan hutan adat oleh negara.

"Syarat dan berkas sudah kita siapkan, kita usulkan ke Pak Gubernur untuk diteruskan ke Bu Menteri KLHK, supaya hutan adat ini ditetapkan negara jadi hutan adat. Sekarang sedang menunggu," ujar Nasir.

Lokasi hutan ini, bersempadan dengan konsesi hutan tanaman industri (HTI) dan lahan-lahan eksplorasi minyak dan gas blok Rokan yang dikelola PT Pertamina Hulu Rokan. Di situ, juga terdapat perkampungan dan ikon rumah adat suku Sakai yang sudah berdiri sejak puluhan tahun lalu.

Masyarakat Sakai ingin, 207 hektare hutan yang telah dipetakan itu bisa tetap dipertahankan. Bahkan demi menjaga ini, para tetua Sakai juga menerapkan sanksi adat bagi orang yang sengaja menebang pohon hingga melakukan pelanggaran norma-norma di kawasan hutan adat.

"Ada hukum adat yang kami tetapkan, apabila ada warga datang wisata dengan pakaian tak sopan misalnya, itu ada sanksinya. Dan menebang atau merusak pohon tanpa izin, maka akan diterapkan sanksi adat," tegasnya.

Load More