Scroll untuk membaca artikel
Eko Faizin
Rabu, 29 September 2021 | 16:52 WIB
Diseminasi Hasil Studi Hutan Adat Imbo Putui: Tamakan Dek Ulok bertempat di Ruang Seminar Fakultas Pertanian Unri, Selasa (28/9/2021). [Suara.com/Eko Faizin]

SuaraRiau.id - Kawasan hutan adat di Riau masih menyimpan ragam permasalahan yang kompleks, terutana akibat keberadaan industri sawit di sekitarnya.

Contoh kasusnya seperti yang terjadi di Hutan Adat Imbo Putui, Kenegerian Petapahan, Kecamatan Tapung, Kabupaten Kampar yang kini sedang bermasalah dengan sebuah perusahaan perkebunan sawit.

Merespons hal itu, perkumpulan Bahtera Alam, Sawit Watch, WRI Indonesia, Sajogyo Institute bersama Fakultas Pertanian Unri menggelar seminar dan publikasi hasil studi Hutan Adat Imbo Putui pada Selasa (28/9/2021).

Kegiatan ini dikemas dalam bentuk seminar yang berjudul Diseminasi Hasil Studi Hutan Adat Imbo Putui: Tamakan Dek Ulok bertempat di Ruang Seminar Fakultas Pertanian Unri.

Dalam diskusi terbatas tersebut, dihadiri narasumber dari Peneliti Sawit Watch dan Pengiat Sajogyo Institute, Eko Cahyono MSi dan Direktur Bahtera Alam, Harry Oktavian.

Hadir juga sebagai penanggap diskusi tersebut dari akademisi, Dr Defri Yoza S Hut MSi dan datuk pucuk kenegerian Petapahan, Datuk Khaidir Muluk.

Eko Cahyono dalam paparan mengungkapkan bahwa istilah dari menegakkan ulang ekosistem ekosistem hutan adat dalam pusaran gravitasi perubahan budaya ekonomi sawit ini bermakna upaya mengembalikan nilai-nilai baik secara historis, baik budaya dan sosial di kenegerian Petapahan. Khususnya fungsi-fungsi ekosistem hutan adat Ombo Putui yg semakin luruh akibat ekspansi perkebunan sawit.

Temuan riset itu, kata dia, selain untuk memetakan sejarah panjang hubungan berlapis masyarakat Kenegerian Petapahan dengan hutan adat Imbo Putui, juga dampak-dampak peluruhan sistem sosial-ekonomi, sosial-ekologi, sistem budaya, tradisi dan identitas adat lainnya akibat ekspansi perkebunan sawit.

"Penelitian ini didasari oleh berbagai macam masalah yang muncul dari warisan dari masa lalu, dan dampak multi dimensi dari hutan Imbo Putui sekarang dan potensihya yg akan datang," ujarnya.

Eko dalam penjelasannya, menginginkan ada masukan dan pengkayaan perspektif penelitiannya tersebut lantaran ke depan masih banyak permasalahan akan dihadapi terkait hutan adat dan masyarakatnya.

"Research question ini adalah bagaimana upaya masyarakat petapahan dan multi pihak pendukungnya untuk mendapatkan hak-hak nya yang telah direnggut," sebut Eko.

Sementara itu, Harry Oktavian menjelaskan bahwa secara kewilayahan adat Petapahan cukup luas hingga mencapai sekitar 60.000 hektare yang merupakan ulayat kenegerian tersebut.

"Di hutan adat Imbo Putui memiliki peraturan yang ketat walaupun seranting. Bahkan hukumannya didenda adat dan disidang. Ini membuktikan keberadaan masyarakat adat itu sendiri sudah lama dan memiliki historis yang cukup panjang," ujar Harry.

Tak hanya itu, Harry juga menyebut bahwa hubungan kerajaan masyarakat hutan adat Kenegeriaan Petapahan dengan Kerajaan Siak kala itu sangat erat.

Defri Yoza dalam tanggapannya, salah satunya menyinggung soal kearifan lokal, tata ruang kampung yang ada di wilayah hutan adat itu. Selain itu, juga terkait hutan menjadi cadangan pangan.

Sementara Datuk Khaidir Muluk menyatakan bahwa Imbo putui itu bukan hutan yang baru, tapi hutan yang turun menurun atau warisan.

Ia menjelaskan bahwa pada awalnya itu adalah hutan larangan. Tidak boleh anak atau kemanakan untuk memasuki nya tanpa izin pimpinan adat.

"Hutan imbo itu terletak di dekat sungai. Sebelum ada perusahaan, itu sungai sangat besar, dalam, hampir mencapai 3 meter. Sejak perkebunan masuk, itu semua berubah," cerita Datuk Khaidir Muluk dalam forum tersebut.

Dahulu, kata dia, sungai adalah tempat transportasi Petapahan ke Pekanbaru lantaran tak ada jalan darat dan hanya dapat diakses melalui jalur air dengan kapal.

Kearifan lokal pun dijaga dari dulu hingga kini dengan menerapkan nilai-nilai terdahulu peninggalan ninik mamak Petapahan.

"Bahkan sampai hari ini terdapat ada makhluk halus seperti ‘nenek’. Imbo Putui dan Pitaliong itu ada berkaitan. Apabila ada perbuatan berzina, hutan akan memiliki cara tersendiri dalam memberikan hukuman kepada masyarakata seperi hilangnya ternak," kisahnya.

Perwakilan Sawit Watch, Andi Inda Fatinaware mengungkapkan bahwa kegiatan tersebut merupakan awal dari langkah advokasi terkait hutan adat Imbo Putui.

Menurut Andi, hal ini merupakan salah satu misi yaitu keadilan sosial ekologis dan pihak yang konsen terhadap permasalahan tersebut diharapkan bersama-sama melakukan pendampingan terhadap masyarakat adat Petapahan untuk memperoleh hak-hak mereka.

"Apapun itu cerita temuan lapangan, bahwa ada pengalaman yang tidak mengguntungkan bagi masyarakat adat. Tapi ini bukan kesalahan masyarakat adat, hanya saja masyarakat terlena akan janji-janji manis atau yang disebut ”Tamakan Dek Ulok” yang dijanjikan oleh perusahaan saat itu," jelasnya dalam sambutan.

Sementara itu, perwakilan Fakultas Pertanian Dr Nurul Qomar SHut MP mengungkapkan bahwa harapannya ke depan tidak sebatas hanya seminar ini, namun adanya keberlanjutan.

"Mahasiswa kami sering melakukan penelitian di Hutan Adat Imbo Putui, kami mengucapkan terima kasih kepada MHA Petapahan yang sudah mau direpotkan oleh kami," terang Nurul Qomar.

Diketahui, acara yang dipandu Tamara Pertiwi ini dilakukan dengan sistem offline dan online melalui zoom meeting. Peserta offline sendiri yang hadir sebanyak 31 orang serta peserta online sebanyak 87 peserta yang hadir.

Load More