Scroll untuk membaca artikel
Eko Faizin
Kamis, 13 Mei 2021 | 11:33 WIB
Presiden Soekarno [Instagram Soekarno_Presidenku]

SuaraRiau.id - Petasan menjad tradisi sebuah perayaan, termasuk ketika Hari Raya Idul Fitri. Meskipun kini keberadaan petasan dilarang lantaran berbahaya, namun keseruan masa kecil tempo dulu dihiasi dengan benda tersebut.

Terkait petasan, ada cerita tentang Presiden RI pertama Soekarno sewaktu kecil yang tak mampu membeli petasan di momen hari Lebaran.

Soekarno kecil tak bisa bermain petasan di malam hari kemenangan. Ia hanya bisa melihat teman-temannya bermain petasan dari dalam kamar.

Soekarno kecil kemudian mengintip serunya permainan tersebut dari lubang bilik yang bolong dari kamarnya.

Penuh harapan dan keinginan seperti anak umumnya yang diintip dari lubang bilik kamar kecil yang menjadi tempat peraduan Soekarno kecil saat itu.

Namun apa daya, minimnya ekonomi keluarga Soekarno kecil memaksa dirinya memendam keinginan bermain petasan di hari kemenangan terkubur dalam hati saja. Kenangan ini dikisahkan Bung Karno dalam Otobiografi “Penyambung Lidah Rakyat” penulis Cindy Adams.

Soekarno kecil hanya bisa berbaring di tempat tidurnya dan sesekali mengintip keluar menyaksikan teman-temannya bermain petasan tanpa berani ikut serta untuk keluar rumah bergabung dengan lainnya.

Tentu bukan perkara mudah untuk memenuhi keinginan Soekarno kecil saat itu, yang ingin membeli petasan seharga satu sen. Keinginan jajan saja, tak pernah terpenuhi ayahnya, sebagai salah satu keinginan Soekarno saat itu.

Ayahnya yang memiliki gelar raden, merupakan pekerja medioker dengan gaji 25 gulden per bulan. Semua penghasilan tersebut hanya cukup untuk membayar sewa rumah dan keperluan makan sehari-hari keluarga.

Keluarga Soekarno bahkan bisa dikatakan sebagai keluarga miskin, bahkan untuk mencukupi kebutuhan empat orang dalam keluarga sering tidak tercapai.

Bahkan saat usianya enam tahun, Soekarno kecil sempat pindah ke Modjokerto, berada di lingkungan miskin dengan keadaan ekonomi tetangga yang tak jauh berbeda dengan keluarganya. Akan tetapi mereka mempunyai sisa uang sediki untuk membeli jajan.

“Ketika berumur enam tahun, kami pindah ke Modjokerto. Kami tinggal di daerah yang melarat dan keadaan tetangga-tetangga kami tidak berbeda dengan keadaan sekitar itu sendiri. Akan tetapi mereka mempunyai sisa uang sedikit untuk membeli pepaja atau jajan lainnja. Tapi aku tidak. Tidak pernah,” ungkap Bung Karno di otobiografinya dikutip dari Hops.id--jaringan Suara.com, Kamis (13/5/2021).

“Kegembiraan di hari Lebaran sama dengan hari Natal. Hari untuk berpesta dan berfitrah…di malam sebelum Lebaran sudah mendjadi kebiasaan bagi kanak-kanak untuk main petasan. Semua melakukannya kecuali aku. Di hari Lebaran aku berbaring seorang diri di kamar tidurku yang kecil. Dengan hati gundah aku mengintip keluar arah ke langit melalui lubang udara pada dinding bambu,” katanya.

“Aku merasa diriku sangat malang. Hatiku serasa akan pecah. Di sekeliling terdengar bunyi petasan berletusan di sela oleh sorak-sorai kawan-kawanku karena kegirangan. Betapa hancur luluh rasa hatiku yang kecil itu memikirkan, mengapa semua kawan-kawanku dengan jalan bagaimanapun dapat membeli petasan yang harganya satu sen itu dan aku tidak!,” cetusnya.

Soekarno juga hanya bisa menangis di pelukan ibundanya. Hingga lantas tiba-tiba seorang sahabat ayahnya datang bertamu. Sahabat ayahnya juga membawa bingkisan yang ternyata isinya petasan!

“Tak ada harta, lukisan atau pun istana di dunia ini yang dapat memberikan kegembiraan kepadaku seperti pemberian itu. Tak dapat kulupakan untuk selama-lamanya,” kata Bung Karno.

Load More