Scroll untuk membaca artikel
Eko Faizin
Selasa, 30 Maret 2021 | 15:34 WIB
Sapi milik kelompok ternak Lembu Sejahtera di Kecamatan Mempura, Kabupaten Siak. [Ist]

SuaraRiau.id - Kebanyakan orang jijik bahkan tidak menginginkan dekat dengan kotoran hewan, namun berbeda dengan warga bernama Rozali.

Warga Merempan Hulu, Kecamatan Mempura, Kabupaten Siak itu malah meraup rupiah dari kotoran sapi.

Pria 38 tahun tersebut mengumpulkan kotoran sapi dari kandang ke kandang untuk dijualnya ke para petani.

Per kilogram kotoran sapi, dia jual seharga Rp 200.

Dari kotoran sapi tersebut, Rozali pernah meraup untung Rp 6 juta dalam sebulan, hasil itu dibagi dengan kelompok ternaknya.

Rozali adalah anggota kelompok ternak Lembu Sejahtera. Dari kotoran sapi yang mereka ternak, ia berhasil menambah pundi rupiah sebagai penghasilan tambahannya serta uang kas untuk kelompoknya.

“Kotoran sapi ini sebagai bahan baku pembuatan pupuk organik. Kami sudah menjalani jualan kotoran sapi ini sejak 4 tahun lalu. Hasilnya lumayan, nambah penghasilan,” ungkap Rozali.

Hasil jualannya, kata Rozali, tidak sejijik kotoran sapinya. Baginya kotoran sapi itu seperti emas hijau, meski bukan logam mulia berwarna hijau namun mempunyai nilai uang yang laris manis di pasaran.

Apalagi Siak merupakan daerah berbasiskan perkebunan sawit dan pertanian, sehingga kotoran sapi yang sebagian besar orang menghindarinya justru kini diburu para penghasil pupuk organik.

“Awalnya kami ingin mengolah kotoran sapi dari kelompok ternak kami sendiri menjadi pupuk organik. Kami terkendala dengan peralatannya dan usaha ini tidak bisa diteruskan waktu itu,” kenang Rojali.

Seiring berjalannya waktu, kata dia lebih jauh, kelompok ternaknya didatangi petani lain. Banyak yang ingin membeli kotoran sapinya. Dari sana, Rojali berpikir lebih baik jual bahan bakunya saja, yakni kotoran sapi basah atau kering.

“Permintaan datang bukan hanya dari petani di Siak, bahkan juga dari luar Siak. Saya pikir, cepat atau lambat ini akan jadi uang, dan harus diseriusi biar berkelanjutan,” kata dia.

Rojali membagi dua jenis kotoran sapi yang hendak dijualinya, basah dan kering. Kotoran sapi yang basah dibandrol Rp 200 per kilogramnya, sedangkan yang sudah dikeringkan Rp 12 ribu per karung.

“Lumayan, nambah -nambah penghasilan,” ujar Rojali.

Prospek penjualan pupuk organik kotoran sapi sedang baik-baiknya di Siak. Apalagi belakangan masyarakat “demam” tanaman hias keladi (Caladium).

Tananam ini memerlukan pupuk organik. Tanaman hias tersebut masuk ke dalam kelompok suku talas atau araceae. Tanaman tropis ini berasal dari Amerika Selatan dan Amerika Tengah.

Di Indonesia termasuk juga di kabupaten Siak, masyarakat juga sempat “demam” dengan tanaman janda bolong.

Varietas ini sedikit lebih kecil dari deliciosa, tetapi lubang di daunnya masih cukup besar. Lubang-lubang tersebut cenderung memenuhi sekitar 50 persen daun.

“Saat -saat masyarakat demam dengan bunga-bunga hias itu kemarin penjualan kami lumayan banyak. Dari kotoran sapi saja kami dapat Rp 6 juta,” kata dia.

Rozali dan kelompoknya amat bersyukur dengan banyaknya peminat tanaman hias. Ia berharap tren itu tidak padam begitu saja, agar penjual kotoran sapi seperti dirinya untung.

"Saat heboh bunga-bunga keladi, bunga-bunga hias kemarin ini ada saja yang datang memborong kotoran sapi yang telah kami kumpulkan. Lumayan, kami dapat Rp 6 juta,” kata Rozali.

Hasil penjualan ini bukanlah menjadi hak Rojali 100 persen. Ia harus berbagi dengan kelompoknya. 40 persen hasil penjualannya untuk kelompoknya, 60 persennya baru masuk kocek pribadinya.

Rozali merasa adil dengan pola pembagian itu. Kenapa tidak, Rozali tidak hanya menjual kotoran dari sapi miliknya seorang, melainkan juga mengumpulkan kotoran sapi milik angota kelompoknya, yakni 17 orang.

Bagi Rozali, kotoran sapi memang ibarat emas hijau, karena bernilai untuk menopang kehidupannya sehari-hari bahkan dimungkinkan pula untuk masa depan.

Selama orang masih bertani, masih bertanam selama itu pula pupuk organik dibutuhkan, dan kotoran sapi dicari. Bayangkan, Rojali seorang diri mampu mengumpulkan kotoran sapi basah sedikitnya 500 kg per harinya.

“Untuk kotoran sapi kering bisa dikumpulkan mencapai 10 kg dari satu ekor sapi dalam tiga hari. Itu saya kumpulkan dari 25 ekor sapi yang ada dalam kelompok ternak kami,” kata dia.

Menurutnya, meski dihadang pandemi Covid-19, penghasilan dari menjual kotoran sapi tak mengalami dampak serius. Sebab, petani dan pegiat tanaman hias selalu butuh pupuk untuk tanaman mereka.

“Kemarin ini ada yang borong kotoran sapi basah Rp 700 ribu. Alhamdulillah, sangat bersyukurlah,” kata dia.

Rozali berpandangan, jika petani menggunakan pupuk organik untuk pertanian akan lebih baik dan menguntungkan dua kali lipat. Hasil panen lebih berat, lebih segar dan lebih enak serta lebih sehat, sementara biaya lebih enteng.

"Bagi kami juga ada manfaatnya, salah satunya mengubah limbah peternakan menjadi pundi-pundi rupiah,” kata Rozali.

Kontributor : Alfat Handri

Load More