SuaraRiau.id - Aturan terkait harga rokok masih terjangkau di pasaran sehingga prevalensi merokok di Indonesia sulit turun secara signifikan disorot peneliti Center of Human dan Development (CHED) Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan (ITB-AD) Adi Musharianto.
Disampaikannya, pelanggaran menjual lebih rendah dari harga banderol disebabkan dari aturan yang memungkinkan menjual di bawah 85 persen dari harga banderol.
"Ada Peraturan Dirjen Bea dan Cukai No.37 Tahun 2017, PMK Nomor 146/2017, Perdirjen Bea dan Cukai Nomor 25/2018. Aturan ini lah yg memicu rokok dijual di bawah harga banderol, bahkan di bawah 85 persen," ujar Adi dikutip dari Antara, Kamis (11/3/2021).
Kebijakan Bea Cukai saat ini, kata dia, memungkinkan harga jual rokok di bawah 85 persen dari harga pita cukai atau Harga Jual Eceran (HJE) yang telah ditetapkan pemerintah. Hal itu tertuang dalam Peraturan Direktur Jenderal (Perdirjen) Bea Cukai Nomor 37 Nomor 2017 tentang Tata Cara Penetapan Tarif Cukai Tembakau.
Lebih lanjut, produsen dapat menjual di bawah 85 persen dari HJE asal dilakukan tidak lebih dari 40 kota yang disurvei oleh kantor Bea Cukai.
"Dampaknya, prevalensi perokok sulit turun lebih tajam," kata Adi.
Sementara itu, Youth Tobacco Control Advocate Komnas Pengendalian Tembakau Manik Marganamahendra mengatakan, selama 15 tahun terakhir harga rokok makin terjangkau sehingga berdampak terhadap prevalensi merokok khususnya pada anak muda.
"Masalahnya kalau anak muda sudah jadi konsumen, ke depannya juga berpotensi menjadi perokok," terang Manik.
Ia juga menyampaikan bahwa potensi anak muda menjadi perokok saat dewasa dipengaruhi dari kelompok sosial (lingkungan) dan harga.
"Dari teman satu gengnya punya dampak, tapi di sisi lain juga ada harga yang mempengaruhi akses rokok,” ujar dia.
Padahal, kata Manik, mayoritas negara berkembang memiliki tingkat keterjangkauan yang tinggi terhadap rokok. Artinya, makin maju negaranya, harga rokok juga makin mahal.
"Kalau kita bandingkan, ternyata keterjangkauan harga rokok kita dengan negara lain, kita masih di angka minus 50 persen. Artinya sangat terjangkau di masyarakat," tutur dia.
Manik menyebut tidak heran apabila prevalensi perokok anak justru meningkat.
Berdasarkan Data dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) prevalensi merokok pada populasi usia 10-18 tahun naik sebesar 1,9 persen dari 7,2 persen pada 2013 menjadi 9,1 persen pada 2018. (Antara)
Berita Terkait
-
DPRD DKI Jamin Ekonomi Jakarta Tak Akan Mati karena Aturan Kawasan Tanpa Rokok
-
4 Pilihan Mouth Spray untuk Perokok, Murah dan Ampuh Hilangkan Bau Rokok
-
Wagub Rano Karno: Perda Kawasan Tanpa Rokok Bukan untuk Diskriminasi
-
Pemerintah Tunda Kenaikan Cukai Rokok 2026: Kebijakan Hati-Hati atau Keberpihakan ke Industri?
-
Catatan Akhir Tahun: Industri Rokok Kian Terang-Terangan Melobi Pemerintah
Terpopuler
- 5 HP RAM 8 GB Memori 256 GB Harga Rp1 Jutaan, Terbaik untuk Pelajar dan Pekerja
- 7 Sepatu Adidas Diskon hingga 60% di Sneakers Dept, Cocok Buat Tahun Baru
- 5 Mobil Bekas yang Anti-Rugi: Pemakaian Jangka Panjang Tetap Aman Sentosa
- Diminta Selawat di Depan Jamaah Majelis Rasulullah, Ruben Onsu: Kaki Saya Gemetar
- Kencang bak Ninja, Harga Rasa Vario: Segini Harga dan Konsumsi BBM Yamaha MT-25 Bekas
Pilihan
-
Kaleidoskop Sumsel 2025: Menjemput Investasi Asing, Melawan Kepungan Asap dan Banjir
-
Mengungkap Gaji John Herdman dari PSSI, Setara Harga Rumah Pinggiran Tangsel?
-
Aksi Adik Kandung Prabowo yang Makin Mencengkeram Bisnis Telekomunikasi
-
Sesaat Lagi! Ini Link Live Streaming Final Futsal ASEAN 2025 Indonesia vs Thailand
-
Cerita 1.000 UMKM Banyuasin: Dapat Modal, Kini Usaha Naik Kelas Berkat Bank Sumsel Babel
Terkini
-
7 Mobil MPV Bekas di Bawah 100 Juta: Kabin Luas dan Nyaman, Tampilan Elegan
-
Pintu Waduk PLTA Koto Panjang Dibuka Besok, Waspadai Aliran Sungai Kampar
-
BRI Raih Penghargaan Impactful Grassroots Economic Empowerment
-
PHR Cetak Teknisi AC Terampil Wujudkan SDM Siak Berdaya Saing
-
3 Mobil Bekas 60 Jutaan Kapasitas Penumpang di Atas Innova, Keluarga Pasti Suka!