Scroll untuk membaca artikel
Eko Faizin
Senin, 25 Januari 2021 | 11:50 WIB
Ilustrasi Jilbab. [Dok.Pixabay]

Apalagi, katanya, banyak sekali orangtua murid di Padang tak keberatan dengan imbauan itu.

“Ini adalah kearifan lokal, bapak enggak ngerti. Orangtua mau kok. Ini Pak beka baru khawatir, sementara ini sudah berjalan 15 tahun. Kekhawatiran bapak tidak terbukti,” ujar Fauzi.

“Kalau cuma satu dalam 1 juta, kalau kita tanam 1000 pohon lalu matinya 125 batang, itu dianggap sukses pak. Apalagi ini 1 banding 1 juta. Jadi bapak ini enggak ngerti tentang bagaimana kearifan lokal ini,” tambahnya.

Adapun imbauan ini, kata dia, menyasar pada kalangan remaja berusia puber. Dia kembali menekankan, jika berjilbab seolah bukan cuma bicara agama, namun sudah menjadi tradisi. Sehingga, mereka yang non muslim pun saat bersekolah kemudian menyesuaikan diri.

“Mereka karena minoritas di Sumatera Barat, mereka menyesuaikan. Kalau kopiah itu sempit, bukan kepalanya yang dipahat, kopiahnya yang menyesuaikan kepalanya,” katanya.

Dia justru menantang agar Komnas HAM ikut terjun ke lapangan untuk membuktikan apakah ada unsur paksaan soal imbauan siswi berjilbab. Karena, di tingkatan universitas pun, semua sudah memahami untuk melakukan penyesuaian menggunakan pakaian sopan ketika di luar rumah.

“Hanya kearifan lokal, karena sudah terbiasa mereka. Jadi jangan Anda menekankan soal Pasal 4 dan lain-lain tadi, enggak benar itu. Kami enggak mau kucing yang mau makan tulang, kambing ikut mengomentari kalau kucing suka tulang,” terangnya.

Load More