Scroll untuk membaca artikel
Chandra Iswinarno
Senin, 30 November 2020 | 12:15 WIB
Ilustrasi Pilkada. (Antara)

Pada saat yang sama, partai yang selama ini kebijakannya berseberangan dengan partai koalisi pemerintah, nampaknya cukup berhasil berselancar dengan momentum populisme, seperti mengelola sentimen rakyat, dengan mengambil posisi tegas membela rakyat (agregasi), sehingga mendapatkan bonus insentif elektoral yang cukup berlimpah seperti yang dialami PKS dan Partai Demokrat.

"Salah satu yang menggerus elektabilitas Gerindra adalah sikap politik Gerindra banting stir bergabung pada Pemerintahan Jokowi dengan menempatkan Prabowo Subianto sebagai Menteri Pertahanan, selain memang belakangan ada beberapa kasus korupsi yang mulai menjerat kader Gerindra," kata dia.

Selain itu dalam konteks pergeseran elektabilitas partai politik di Sumbar, apakah punya dampak terhadap kemenangan calon kepada daerah yang diusung partai tersebut. Jawaban yang mengatakan tidak akan punya korelasi positif terhadap pilihan calon gubernur dalam pemilihan kepala daerah.

"Hipotesisnya sebagian mengatakan bahwa pengaruh figur kandidat justru lebih dominan mempengaruhi pemilih dalam memutuskan pilihan politiknya," kata dia.

Baca Juga: Pilkada Serentak di Sumbar, Epyardi Asda Calon Terkaya Dengan Harta Rp 73 M

Namun, ia menilai dampak psikologisnya cukup besar terutama bagi partai yang berbasis kader seperti PKS, paling tidak pemicu kencangnya pergerakan mesin partai yang panas di ujung, seperti kasus pilkada di Jawa Barat.

Pada sisi lain, tidak dapat dipungkiri tergerusnya elektabilitas Partai Gerindra juga akan sedikit banyaknya berdampak terhadap kandidat yang diusung.

Apalagi, pasangan cagub-cawagubnya hanya pakai satu mesin, diusung Partai Gerindra sendiri, tanpa berkoalisi dengan partai lain sehingga tidak akan punya tambahan dukungan insentif elektoral dari mesin partai lain. (Antara)

Load More