SuaraRiau.id - Jelang Pilkada 2020, narasi politik Islam menguat belakangan ini. Meski demikian, hal tersebut belum tentu berdampak massif terhadap kelompok pemilih di pedesaan.
Pengamat politik dari Universitas Riau, Tito Handoko, menilai segmentasi pemilih pedesaan lebih sukar untuk merubah pilihan hanya lantaran menguatnya narasi politik kelompok tertentu.
"Pemilih pedesaan kan lebih identik dengan segmen pemilih tradisional. Corak tradisional itu tidak bisa diartikan sepenuhnya basis politik partai tertentu, tapi lebih kepada cara pandang mereka terhadap kehidupan sehari-hari," ungkapnya di Pekanbaru, Sabtu (14/11).
Cara pandang tersebut yang membuat pemilih pedesaan, lebih tetarik memikirkan harga jual komoditi ketimbang isu-isu politik yang menghangat.
Selain itu pola kehidupan yang menjarakan mereka di kebisingan politik di media sosial, juga turut andil membuat mereka tidak terpapar oleh isu politik.
"Sehingga bahan politik yang menguat belakangan ini, lebih mungkin berdampak pada masyarakat diperkotaan. Sedangkan didesa itu wacana yang mereka nantikan tetap tak berubah, seperti urusan kesejaterahaan, pendidikan, atau infrastruktur. Jadi berkutat pada persoalan klasik," tukasnya.
Adapun pemilih pedesaan dari segi jumlah pemilih bisa dikatakan dominan, ini merujuk jumlah tempat pemungutan suara yang dominan di pedesaan. Pada pemilu tahun 2019 saja terdapat 83.370 desa, yang tersebar di 34 provinsi.
Selama ini kalangan pemilih pedesaan identik dengan sejumlah partai politik, PKB misalnya. Partai yang berafiliasi dengan Nahdatul Ulama ini sejak dulu menjadikan pedesaan sebagai lumbung suara, terutama desa yang dominan dihuni warga NU.
Hanya saja karena sebaran NU lebih dominan di Jawa Timur, maka PKB sangat bergantung pada daerah ini.
Baca Juga: Sore Ini Terdeteksi 100 Hot Spot di Sumatera, Riau Ada 19
Selain PKB, partai politik PDI P juga identik dengan masa pemilih pedesaan. Kesan ini dapat terwakili oleh jargon Partai Wong Cilik, dimana Istilah tersebut lebih memungkinkan untuk menggambarkan kehidupan pedesaan.
Sementara itu Ketua Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) Riau, Dr. Hasanudin menyebut kondisi politik bukan lah hal yang statis.
Oleh sebab itu hal-hal yang di rasa tidak mungkin dalam perebutan suara pemilih, sangat bergantung pada wacana apa yang coba dikomunikasikan pada pemilih, termasuk pemilih pedesaan.
"Jadi tidak ada yang namanya statis, tergantung sejauh mana kejelian menyampaikan isu politik, dan melihat efeknya," tukasnya.
Hasanudin mencontohkan dinamika politik pada pemilu 2019,dimana raihan politik partai nasionalis turun di sejumlah wilayah.
Penurunan tersebut lantaran adanya muatan isu agama yang menghangat jelang pemilu 2019.
Berita Terkait
Terpopuler
Pilihan
-
Bank Sumsel Babel Dorong CSR Berkelanjutan lewat Pemberdayaan UMKM di Sembawa Color Run 2025
-
UMP Sumsel 2026 Hampir Rp 4 Juta, Pasar Tenaga Kerja Masuk Fase Penyesuaian
-
Cerita Pahit John Herdman Pelatih Timnas Indonesia, Dikeroyok Selama 1 Jam hingga Nyaris Mati
-
4 HP Murah Rp 1 Jutaan Memori Besar untuk Penggunaan Jangka Panjang
-
Produsen Tanggapi Isu Kenaikan Harga Smartphone di 2026
Terkini
-
5 HP Murah untuk Ibu Rumah Tangga: Scroll-scroll Aman, Kameranya Juara
-
7 Daftar City Car Bekas Murah untuk Wanita, Praktis dan Mudah Dikendarai
-
Danantara dan BRI Terjun Langsung ke Lokasi Bencana Kabupaten Aceh Tamiang
-
6 Mobil Bekas 3 Baris Bukan Toyota, Fitur Canggih dengan Ruang Kabin Nyaman
-
Pemulihan Ekosistem Tesso Nilo: Relokasi Warga hingga Tumbangkan Sawit