"Karya Awang Menunggang Gelombang ini hasil pembacaan berdasarkan sudut pandang ke-Riau-an. Artinya Panglimo Awang dan pengembaraannya merupakan teks yang bebas untuk ditafsir," kata Itok.
Penciptaan karya ini melalui proses pembacaan terhadap fragmentasi dunia laut nusantara: makro dan mikro kosmos kelautan. Keagungan pengembaraan bagi pelaut Bugis-Makassar dimulai dengan ritual Songka Bala untuk membina koneksi diri dengan alam.
Songka Bala (tolak bala) sendiri menjadi laku prakembara untuk mengatasi ketegangan batin-spiritual dengan rintangan, mengokohkan keyakinan, sekaligus menjadi ikrar yang melandasi keputusan pengembaraan.
Legenda hantu laut Kala Kiwi yang populer di perairan pesisir dan kepulauan Riau hingga laut cina selatan menjadi titik “intip” dunia mistisisme kelautan.
Para pengembara laut sangat menghindari untuk tertidur di tengah laut, karena pada saat itulah, Hantu Laut (Kala Kiwi) menyerang awak kapal.
Berdasarkan data, tugas navigasi Awang pada ekspedisi Ferdinand Magellan merupakan keputusan tarik menarik dalam batin dan pikiran Awang yang membuka medan tafsir yang longgar. Kondisi batin Panglimo Awang ini kemudian dijadikan pijakan karya konser.
"Karya ini menggunakan lirik Syair Pelayaran Kampar yang menggambarkan ketidakberdayaan dan sikap penyerahan diri total terhadap kuasa absolut," ungkapnya.
Konser ini didukung oleh Direktorat Jenderal Kemendikbud RI melalui kompetisi proposal dalam program Fasilitasi Bidang Kebudayaan tahun 2020. Konser juga didukung Pemerintah Provinsi Riau, Gravis Advertizing, dan Asosiasi Seniman Riau (Aseri).