Scroll untuk membaca artikel
Eko Faizin
Kamis, 12 Mei 2022 | 18:08 WIB
Genangan air di Jalan Soebrantas daerah Tabek Gadang Pekanbaru. [Suara.com/Wahid Irawan]

SuaraRiau.id - Pengamat tata kota dari Universitas Islam Riau, Mardianto Manan mengatakan bahwa hujan deras yang sering dituding menyebabkan banjir di kota Pekanbaru dipandang kurang tepat.

Mardianto mengungkapkan bahwa banjir adalah proses alamiah meluapnya air dari sungai sedangkan yang terjadi di beberapa titik kota Pekanbaru adalah tak berfungsinya saluran drainase.

"Masalah penataannya yang kurang elok. Kan itu saja. Drainase air tidak tahu mau kemana. Interkoneksi antara satu dan yang lain tidak ada," kata Mardianto Manan, Rabu (11/5/2022).

Interkoneksi atau keterhubungan drainase air antara satu dan lain yang buruk dipandangnya jadi penyebab setiap hujan turun air yang menggenang tak tahu kemana akan mengalir.

"Saya selalu katakan di Panam itu bukan banjir tapi air tergenang yang bingung mau mengalir ke mana. Karena banjir konsep alamiahnya adalah air yang meluap," ujarnya.

Ia menjelaskan bagaimana daerah tinggi seperti Panam justru sering mengalami banjir manakala hujan turun dan bukannya wilayah yang lebih rendah karena tak ada drainase yang bagus.

Mardianto mencabut satu tisu yang ada di meja dan meremuknya dengan tangan lalu membentangkannya di meja. Titik fokusnya adalah tidak ratanya permukaan tisu. Tinggi dan rendah.

"Ini tinggi kan. Katakanlah kalau saya ingin bikin drainase dan yang tinggi itu Panam sekitarnya. Lalu orang katakan banjir di atas. Mungkin tidak banjir di atas sini? Tapi kalau di sini (rendah) banjir masuk akal tidak? Masuk akal." ujar dia.

Upaya membersihkan gorong-gorong ketika banjir pun ia pandang belum menuntaskan masalah utama, yaitu tak adanya drainase yang baik.

Ia menganalogikan hal itu seperti pola petugas pemadam kebakaran. Kalau ada rumah terbakar, disiram lalu pergi.

"Kalau diterjemahkan ke drainase ada banjir, dibersihkan gorong-goronya, dikeruki. Setelah selesai pindah ke tempat lain. Tak tuntas masalahnya. Karena drainase ini harus interkoneksi di pembuangan air."  terang Mardianto.

Idealnya menurutnya, perlu dilakukan saling keterhubungan dari tempat kita mandi pembuangan airnya hingga menuju sungai yang lebih besar seperti Sungai Siak dan Sungai Teratak Buluh. Atau sungai penghubung macam Sungai Sail atau Sungai Sago.

"Jadi kemana pun dialirkan gampang. Tidak ada yang sulit. Cuma persoalannya itu yang tidak ada titik temu dalam tanda kutip, tidak diseriusi oleh para pimpinan." terangnya.

Ia menilai Wali Kota Pekanbaru adalah cerminan untuk amburadulnya sebuah tata kota, kalau cantik dan mantap sebuah kota tak lepas dari peran Wali Kota.

"Kalau ingin tahu wajah wali kotanya tengoklah tampilan kotanya. Kalau tampilan kotanya amburadul, selalu diterjang banjir, macet, sampah, seperti itu pula wajah wali kotanya. Keras kesannya tapi itu fakta. Saya orang tata kota. Ketika anda temukan tampilan kotanya seperti itulah wajah wali kotanya," ucapnya.  

Apalagi sejak datang ke Pekanbaru tahun 1999 ia sudah melihat persoalan banjir sudah ada di kota Pekanbaru di masa Oesman Effendi Apan.

"Sejak 1999 banjir sudah terjadi. Harapan kita Herman Abdullah menuntaskan, tak tuntas juga. Harapan kita Firdaus, tambah parah. Sekali lagi tambah parah. Karena persoalan drainase tidak dibuat dengan elok." ulasnya.

Dan solusi atas persoalan ini menurutnya adalah masterplan drainase.

"Intinya itu harus dari tinggi ke rendah. Karena proses drainase air di Pekanbaru itu bukan mekanisasi tapi menggunakan alami. Alami itu menggunakan gravitasi. Daya magnetnya ke bawah. Bukan terbang ke atas dia seperti di bulan." kata Mardianto.

Sejauh pengamatannya memang ada beberapa kampus seperti Unri yang membuat, tapi ia tak mau mengatakan masterplan itu ada.

"Ada yang bilang sudah ada, tapi saya katakan tidak ada. Karena saya lihat itu belum jadi peraturan daerah." tegasnya.

Kontributor : Wahid Irawan

Load More