Scroll untuk membaca artikel
Eko Faizin
Jum'at, 22 Januari 2021 | 08:52 WIB
Tsamara Amany berpose saat berkunjung ke Kantor Redaksi Suara.com, Jakarta, Jumat (21/9). [Suara.com/Muhaimin A Untung]

SuaraRiau.id - Pernyataan komika Pandji Pragiwaksono yang membandingkan ormas Front Pembela Islam (FPI) dengan Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah menuai beragam pendapat dari berbagai kalangan.

Ungkapan Pandji Pragiwaksono tersebut membuat politikus Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Tsamara Amany ikut angkat bicara.

Tsamara menceritakan pengalamannya ketika berkunjung ke rumah alim ulama NU, ia malah diperlakukan dengan baik, bahkan kehangatan yang diberikan seperti tidak ada jarak.

Ia ketika itu bersilaturahmi ke rumah ulama NU, Gus Mus dan Gus Yahya. Kala itu, dia melihat makanan yang disediakan di rumah ulama tersebut sangat banyak.

Hal tersebut membuktikan bahwa mereka sangat terbuka dengan para tamu yang bakal berkunjung ke rumahnya. Bahkan ketika diajak berbincang-bincang, mereka tampak antusias mendengarkan obrolan dari tamunya.

“Kiai NU kok dibilang jauh dari masyarakat? Dulu waktu saya mampir ke Rembang, pintu rumah Gus Mus dan Gus Yahya terbuka lebar. Di rumah Gus Mus, sedia makan terus. Mulai dari makanan besar sampai snack untuk pengunjung. Yang datang diajak ngobrol dan didengarkan, siapa pun itu,” kata Tsamara dalam keterangan tertulis di Twitter pribadinya, dikutip Hops.id--jaringan Suara.com, Kamis (21/1/2021).

Pandji Pragiwaksono kawasan Pakubuwono, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Kamis (23/3/2017) [suara.com/Ismail]

Tsamara kemudian melanjutkan cerita sewaktu dia datang ke Pondok Pesantren Buntet. Ia menilai, perlakuan dari ulama NU sangat baik, sehingga membuatnya salut dan rindu ingin berkunjung kembali ke sana.

“Waktu mampir ke Pesantren Buntet juga sama, siapa pun yang datang selalu disuguhi, diajak ngobrol, dan didengarkan oleh keluarga pengasuh pesantren. Makanya saya selalu salut dan kangen pergi ke pesantren-pesantren NU karena kehangatan yang diberikan oleh mereka. Luar biasa,” terang Tsamara.

Lebih lanjut, Tsamara mengatakan bahwa pesantren NU bukanlah sekadar tempat menimba ilmu agama bagi para santrinya. Ketika pondok pesantren dibangun, biasanya memikirkan hubungan persaudaraan dengan lingkungan sekitarnya.

Buktinya, ponpes NU selalu dibuat berdekatan dengan pemumikam warga sekitar, sehingga antara Kiai dan ulama tidak ada jarak dengan warga sekitar.

Oleh sebabnya dia heran dengan anggapan Pandji yang menganggap bahwa NU maupun Muhammadiyah terlihat seperti elitis alias jauh dengan kalangan masyarakat biasa.

“Alasan NU bisa jadi besar itu karena pesantren bukan hanya rumah bagi para santri, tapi jadi rujukan bagi warga kampung situ. Makanya biasanya pesantren selalu dekat pemukiman warga. Kiai itu jadi panutan. Nggak berjarak dengan warga. Makanya agak aneh sih kalau disebut elitis.” tuturnya.

Bila ingin menilai NU atau Muhammadiyah, Tsamara menegaskan agar berkunjung terlebih dahulu ke pondok pesantren yang ada di kampung-kampung.

“Melihat NU atau Muhammadiyah itu jangan dari organisasi pusat. Keduanya itu mengakar. Lihat di pesantren-pesantren atau sekolah-sekolah. Pergi ke kampung-kampung. Dari situ kita bisa memahami relasi kiai dan warga. Saya yakin lebih dekat dari relasi anggota DPR dan warga yang diwakili,” tandasnya.

Sebagaimana diketahui sebelumnya, komika Pandji Pragiwaksono sempat menjadi perhatian gegara ucapannya soal FPI lebih merakyat dibanding NU dan Muhammadiyah. Pernyataan itu ramai jadi pembahasan di media sosial, berbagai pihak reaktif dengan kata-kata komika itu.

Nah setelah ramai nih, Pandji meminta publik untuk lebih cermat. Pandji menjelaskan, kata-kata FPI lebih merakyat dibanding NU Muhammadiyah itu asalnya bukan dari mulutnya. Pernyataan itu merupakan ucapan dari sosiolog Thamrin Amal Tomagola 9 tahun lalau saat diwawancarai Pandji.

Pandji Pragiwaksono berujar, banyak masyarakat terutama kalangan bawah akhirnya menjadi simpatisan FPI lantaran merasa selalu dibantu kelompok tersebut. Pandji mengaku, pernyataan itu dia dengar dari Sosiolog Thamrin Amal Tomagola ketika diwawancarainya di Hard Rock FM Jakarta, 9 tahun lalu.

“FPI itu dekat dengan masyarakat. Ini gue dengar dari Pak Thamrin Tomagola dulu tahun 2012, kalau misalnya ada anak mau masuk di sebuah sekolah, kemudian enggak bisa masuk, itu biasanya orang tuanya datangi FPI minta surat. Dibikinin surat ke FPI, dibawa ke sekolah, itu anak bisa masuk. Terlepas dari isi surat itu menakutkan atau tidak, tapi nolong warga gitu,” ujar Pandji di saluran Youtube-nya.

Lebih jauh, Pandji menambahkan, FPI senang berbaur dan dikenal dekat dengan masyarakat kelas bawah ketika para elit dari ormas Islam besar, seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah justru jauh dari mereka.

“FPI itu hadir gara-gara dua ormas besar Islam (NU dan Muhammadiyah) jauh dari rakyat. Mereka elit-elit politik. Sementara FPI itu dekat. Kalau ada yang sakit, ada warga yang sakit mau berobat, enggak punya duit, ke FPI, kadang-kadang FPI ngasih duit, kadang FPI ngasih surat. Suratnya dibawa ke dokter, jadi diterima,” ujar Pandji menceritakan pikiran Thamrin.

“Kata Pak Tamrin Tomagola, pintu rumahnya ulama-ulama FPI kebuka untuk warga, jadi orang kalau mau datang bisa. Nah, yang NU dan Muhammadiyah yang terlalu tinggi dan elitis, warga tuh enggak ke situ, warga justru ke FPI. Makanya mereka pada pro FPI, karena FPI ada ketika mereka butuhkan,” ujar Pandji lagi.

Load More